Re-Charge Nurani Dengan Adik-Adik Pejuang Kanker




Jangan Menyerah. . Jangan Menyerah.. Jangan menyerah..

Ah, saya makin suka dengan lagu dmassive ini. Apalagi setelah Komunitas Taufan berbaik hati memberikan kesempatan saya untuk bergabung dan ikut serta dalam kegiatan bangsal visit.

Pengalaman visit ke bangsal kanker anak 23 April 2017 kemarin, perasaan rasanya  gado-gado.

Saat keberangkatan dari rumah, saya pikir adik-adik pejuang kanker yang akan saya temui nanti adalah pasien-pasien yang terbaring lemah diatas tempat tidur.

Ternyata hal tersebut tidak seperti yang dibayangkan semua.

Mereka memang pucat semua, dengan selang di tubuh mereka. Tapi.. Mereka lincah dan riang. Apalagi saat pertunjukkan sulap dan mendongeng, sinergi antara Komunitas Taufan, Sulap Kak Ipul dan Dongeng dari Rabbit Hole.


Bagaimana mungkin perasaan saya tidak seperti diaduk-aduk?

Bayangkan, setiap waktu adik-adik itu harus menahan sakit karena kanker, tubuh dipasang selang dimana-mana, belum lagi harus selalu minum obat. Tapi mereka masih bisa tertawa lincah seperti anak-anak normal lainnya.

Yang muram justru para ibu mereka. Wajah-wajah lelah dan sembab. Mungkin karena sudah terlalu sering menangis melihat putra putri mereka, anak kecil seperti itu harus berjuang melawan kanker. Dengan tubuh dipasangi selang dimana-mana.

Terimakasih untuk pelajaran demi pelajaran kemarin. Tubuh dan usia mereka kecil, tapi bisa jadi mereka lebih dewasa dari orang-orang dewasa yang seringkali kekanak-kanakan.

Dek, terimakasih telah menyentil nurani kakak, ya. Mengajarkan kakak untuk lebih bersyukur.

Terimakasih Komunitas Taufan. Semoga semakin konsisten dalam kebaikan. Ajak saya lagi ya. Hehe








READ MORE - Re-Charge Nurani Dengan Adik-Adik Pejuang Kanker

NOVEL BARU : CINDERELLA YANG BERSUJUD








Asa, seorang sarjana dari universitas ternama itu putus asa karena hampir 3 tahun ia harus menjadi bagian dari ribuan pengangguran terdidik. Berbagai usaha sudah dilakukan tetapi hasilnya nihil. Dan begitu Asa mendapatkan pekerjaan, uang tabungan satu-satunya justru dibawa kabur oleh perusahaan fiktif. Apalagi hubungannya dengan sang ibu tiri yang tidak baik, juga keadaan sang Ayah yang lumpuh karena stroke semakin membuat Asa patah arang dan ingin mengakhiri hidup. 

Sedangkan di dimensi waktu yang lain, Putri mencoba mengobati luka patah hati. Peristiwa bagaimana lelaki misterius itu mengangkat tubuhnya pelan dari himpitan bangkai mobil dalam sebuah kecelakaan besar, juga peristiwa pangeran hati yang telah pergi menorehkan luka masih terlukis jelas di ingatan.

“Sudah saatnya kau menutup luka, Put. Tujuh tahun berlalu, seharusnya luka itu sudah kering. Bahkan, hilang jejak tak membekas.”  

            Bagaimana Asa melanjutkan hidup dan bangkit dari keputusasaan?

            Bagaimana Putri bisa mengobati patah hatinya selama bertahun-tahun? 

Siapa lelaki misterius itu? Lelaki bayangan tanpa rupa yang sudi menyelamatkan. Bahkan, ia meninggalkan jejak sebuah arloji seperti pasangan sepatu kaca yang harus ditemukan dalam sayembara kerajaan.
           
Novel Cinderella Yang Bersujud membahas mengenai fenomena pengangguran terdidik, dunia sales dan entrepreneur. Novel motivasi bisnis pertama yang diwarnai dengan perjalanan anak-anak manusia dalam memaknai arti keyakinan, kegigihan, kesetiaan dan cinta sejati.


READ MORE - NOVEL BARU : CINDERELLA YANG BERSUJUD

TENTANG ANGGAR PUTRI

A
nggar Putri, lahir di Jakarta pada 13 Maret 1990, dari pasangan Sutarno dan Hermitawati. Pada tahun 2011, saat kuliah, bungsu dari dua bersaudara ini mulai aktif mengirimkan tulisannya berupa cerita pendek, puisi dan artikel-artikel islami yang tersebar di berbagai media online, seperti Republika Online, Dakwatuna dan Islamedia.
Tidak hanya menulis, alumni SMK Negeri 8 ini juga hobby bercerita atau mendongeng. Pernah menjadi juara ke-3 pada lomba bercerita atau story telling tingkat SMA Se-Kotamadya Jakarta Selatan, dalam rangka Pelaksanaan Kegiatan Hari Anak Jakarta Membaca pada tahun 2007.
 Sudah aktif mengikuti berbagai organisasi sejak tahun 2003 hingga saat ini. Selain aktif dalam organisasi siswa intra sekolah, penulis juga tergabung dalam ROHIS maupun Forum Alumni ROHIS SMK Negeri 8 Jakarta.
Pernah bergabung juga di organisasi kampus, BADARIS BSI Cabang Woltermonginsidi Jakarta.
Alumni BSI dan STMIK Nusamandiri Jakarta yang memiliki target dan cita-cita untuk menjadi dosen ini pun sedang menggarap antologi puisi Untuk Gaza Palestina bersama dengan puluhan relawan pena yang tergabung, dimana seluruh keuntungan dari penjualan antologi tersebut akan disumbangkan kepada rakyat Gaza Palestina sebagai salah satu persembahan cinta kami kepada rakyat Gaza Palestina. 
Saat ini kegiatan sehari-hari Anggar Putri adalah menjadi tim sales disalah satu perusahaan startup di Jakarta, menulis dan persiapan untuk melanjutkan S2.
Bila ingin memberikan testimoni, berbagi kisah, curhat, berkomunikasi atau mengundang penulis, bisa melalui :
Twitter      : @AnggarPutri13

Email         : penaanggarputri@gmail.com
Blog           : www.anggar-putri.blogspot.com
WA            :0857-8008-2891
 Instagram : @Anggarputri13


READ MORE - TENTANG ANGGAR PUTRI

JOMBLO MOVE ON (PART 2)

Ini adalah tahun kedua persahabatan mereka. Ternyata walau sudah menginjak tahun kedua, mereka masih setia menyandang predikat jomblo sejati. Kecuali si Caraka.
Caraka bukannya jomblo sejati. Tapi playboy sejati. Tahun ini Caraka sudah berganti pacar sebanyak empat kali. Dan selama mereka berempat berteman, Caraka sudah ganti pacar delapan kali. Sedangkan ketiga temannya masih gigit jari.
Ben memanyunkan bibir elastisnya lima centimeter ke depan. Menengadah ke atas. Sesekali menggaruk-garuk kepalanya dengan pensil sambil duduk santai di kantin. Entah, memikirkan apa.
Imam, Jodi dan Caraka masyuk memperhatikan Ben.
“Udah, hutang sama Ibu nggak usah dipikirin.” Celetuk ibu kantin kampus. Mengantarkan pesanan mie rebus kornet ke meja mereka.
Ben terhenyak.
Jiah! Si Ibu... Runtuk Ben dalam hati.
Imam, Caraka dan Jodi tertawa.
“Hutang lo berapa, sih?” Caraka mengeluarkan dompetnya. Tetapi di cegah oleh Ben.
“Nggak usah.” Ucap Ben cool. “Sahabat sih sahabat, tapi gue nggak mau merepotkan. Please, ini tentang harga diri gue, Caraka.”
“Gue juga cuma tanya, kok.” Caraka terkekeh.
Ben manyun. Jiaaah... Kirain...
“Lo mikirin apa, sih?”
Imam yang sejak tadi penasaran dengan sikap aneh sahabatnya itu nggak tahan untuk bertanya juga. Sebab, berpikir serius hingga memanyunkan bibir lima centimeter itu bukanlah kebiasaan Ben yang periang, cerdik dan banyak akal.
Biasanya kalau Ben sudah memanyunkan bibir sebegitunya berarti memang ada masalah pelik yang sedang melanda.
Telat bayar kost, hutang kepada ibu kantin kampus yang menumpuk, hutang di warteg pengkolan, belum lagi biaya semesteran. Ya, nggak jauh-jauh lah dari urusan seperti itu.
Ben terdiam. Berpikir keras dengan mulut semakin manyun.
“Gue mau ikutan organisasi kampus. Lembaga pers kampus.” Ben tersenyum penuh arti. “Ikut, yuk!”
Imam, Jodi dan Caraka mengernyit. Kemudian menggeleng kompak. “Nggak!”
“Sibuk syuting gue.” Ucap Caraka sesekali menyisir rambut yang ia bawa kemana-mana. Sampai menjelang tidur pun Caraka harus membawa sisir.
“Males, ah.” Timpal Jodi sambil melahap mie rebusnya.
“Kok males sih, Jod?” Ben manyun. “Itung-itung mengisi kekosongan.”
“Bangku kali kosong.” Imam meledek.
“Maksudnya biar kuliah kita berwarna gitu. Nggak cuma jadi kunang-kunang alias kuliah nangkring kuliah nangkring aja. Atau kuda-kuda. Kuliah datang kuliah datang aja. Jadi jomblo yang eksis, bro” 
 “Modus aja. Bilang aja biar lo dapet pacar, kan?” Ledek Jodi.
Yang lainnya ikut mencibir niat Ben.
“Iya, sih.” Ben nyengir kuda “Sedikit.”
Ya, kan...
Semua bersorak. Bener, kan. Tumben-tumbennya Ben mau ikut organisasi. Pasti ada maunya. Ada udang dibalik perkedel. Pasti.
“Eh, tapi nggak gitu juga, kok.” Ben buru-buru meralat. “Maksud gue, senggaknya walaupun jomblo kita masih punya kegiatan lain. Jangan memikirkan nasib jomblo kita terus. Jadi jomblo move on. Move on dari keterpurukan karena di tolak banyak cewek menuju jomblo yang eksis. Nggak gini-gini aja.”
“Kan elo yang ditolak banyak cewek. Gue, kan nggak.” Celetuk Caraka.
Jiaah si Caraka, mentang-mentang laku. Ben manyun.
Imam dan Jodi terdiam. Ikut berpikir. Bener juga, sih. Selama ini mereka nggak memiliki kegiatan apa-apa. Cuma jadi kunang-kunang alias kuliah nangkring kuliah nangkring. Kecuali si Caraka.
“Kita buat kenang-kenangan, yuk. Minimal kita nggak hanya menjadi mahasiswa kunang-kunang aja.” Gagas Ben antusias dan itu menyita fokus ketiga sahabatnya.
“Terutama lo Caraka. Lo emang bukan mahasiswa kunang-kunang, karena lo kuliah sambil kerja, banyak kegiatan. Tapi pernah nggak sih lo berpikir untuk menjalani aktivitas seperti mahasiswa normal lainnya?”
Caraka terdiam. Berpikir.
“Sehari-hari aktivitas lo itu kuliah syuting kuliah syuting. Lo jarang berinteraksi dengan teman-teman kampus. Gue tanya, di kampus ini siapa aja yang lo kenal selain dari Jodi, Imam dan gue yang ganteng ini?” Tanya Ben.
“Ganteng?” Imam dan Jodi protes. Ben berdehem sok cool.
 Caraka menggeleng. “Tapi mereka kenal gue, kok.”
“Yang mereka kenal adalah topeng lo sebagai artis bukan sebagai Caraka apa adanya yang juga mahasiswa biasa dikampus ini.” Tandas Ben.
Caraka berpikir. Benar juga, sih. Selama ini ia memang disibukkan dengan syuting. Berangkat pagi buta, pulang kerumah juga sudah terhitung pagi. Tidur hanya dua jam. Setelah itu mesti ke lokasi syuting di beberapa tempat. Bagaimanapun ia juga manusia biasa, ingin hidup normal seperti manusia lainnya. Ingin berinteraksi secara sosial juga.
“Kita daftar dulu, deh. Kita ikutin kegiatannya selama satu tahun ini. Kalau kalian nggak nyaman, boleh keluar. Kalau nyaman, ya lanjutin. Gimana?” Tanya Ben lagi.
Ketiganya terdiam. Saling berpandangan meminta pendapat satu sama lain.
“Satu tahun kelamaan.” Imam Protes.
“Lalu?” Ben menimpali
“Sepuluh bulan?” Jodi mengusulkan
“Mmmmm.... Nanggung banget.” Ben tampak berpikir.
“Satu semester aja.” Caraka menengahi. “Case closed.”
Oke.”

ààà

Pertualangan tahun kedua pun di mulai. Keempat sekawan tersebut dengan gagah berani mendatangi sekretariat lembaga pers kampus. Menyatakan diri ingin mendaftar menjadi anggota lembaga pers mahasiswa.
Untunglah senior mereka di lembaga pers mahasiswa welcome banget. Nggak membedakan peserta. Buktinya aja Caraka diperlakukan sama seperti mahasiswa lainnya. Nggak diistimewakan. Mau dia penyanyi terkenal, kek. Aktor ternama, kek. Anak orang kaya, kek. Dan juga kakek-kakek, nggak ada pembedaan peserta. Semua sama rata.
“Kalian berempat bersahabat, ya?” Tanya Pemimpin redaksi lembaga pers mahasiswa BTI. Di sela-sela acara perkenalan anggota baru. Namanya Bang Irwan. Orangnya kharismatik banget. Tampak jelas kalau Bang Irwan orang yang cerdas dan memilliki pengetahuan luas.
Imam, Jodi, Caraka dan Ben mengangguk kompak. Hari itu mereka anteng banget. Namanya juga anggota baru. Hehe..
Eh, tapi tumben lho, si Ben nggak berulah. Ben taat dengan peraturan yang berlaku kala itu.
Bang Irwan disela-sela pemberian kata sambutan menyampaikan bahwa organisasi ibarat tubuh. Dan anggota-anggota didalamnya diibaratkan dengan anggota tubuh. Apabila satu merasa sakit maka semua mestilah merasa sakit. Agar organisasi ini dapat terus eksis dan berjalan sehat, maka anggota-anggotanya pun harus saling solid dan bekerja sama.
Semua anggota baru memperhatikan dengan seksama. Nggak terkecuali dengan Imam, Jodi, Caraka dan Ben. Mereka malah sampai nyureng segala.
Sebagai salah satu syarat penerimaan anggota baru, mereka berempat harus mengikuti berbagai macam pelatihan jurnalistik dan puncaknya harus mengikuti latihan dasar kepemimpinan di daerah Puncak, Bogor.
Dan selama mengikuti tahapan seleksi seperti itu, semua peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Supaya saling mengenal satu sama lain dan masing-masing peserta dapat terorganisir dengan baik.
Pembagian kelompok pun dimulai. Salah satu kakak panitia mengambil sebuah gelas yang berisi nama-nama peserta. Siap untuk dikocok ala arisan ibu-ibu RT.
Deg-deg-an euy...
Ben cengar-cengir sendiri. “Semoga kita berempat berjodoh lagi, ya?”
Ketiga teman Ben –Imam, Jodi dan Caraka- begidik. Emangnya mereka cowok apaan. Hiiiy...
“Ogah!” Jodi yang paling keras protesnya.
“Emangnya gue cowok apaan?” Caraka melentikkan jarinya. Kali ini Ben yang begidik. Ngeriii..
“Sssst..” Imam geleng-geleng.
Beberapa kelompok sudah terbentuk. Nama Imam, Jodi, Caraka dan Ben belum muncul juga. Alhasil, mereka semakin deg-deg-an.
“Sudah terbagi kan kelompoknya?” Bang Irwan kembali mengambil alih. Imam, Jodi, Caraka dan Ben kalang kabut. Sebab, masih ada delapan orang yang belum mendapatkan kelompok. Termasuk mereka berempat.
 “Belum, Bang.”
“Belum?” Dahi Bang Irwan mengernyit. Kemudian salah satu panitia ada yang membisikki Bang Irwan. Memberi tahu bahwa masih ada nama yang tersisa di dalam gelas. Dan ternyata ketika dikocok, nama mereka berempat keluar secara bersamaan. Kemudian ketika dikocok ulang bersama dengan peserta yang lain nama mereka berempat kembali menjadi satu kelompok. Begitu berulang sampai tiga kali.
“Imam, Jodi, Caraka dan Ben satu kelompok.” Panitia mengumumkan lantang.
Keempatnya bersorak. Yeah! Emang kalau jodoh nggak kemana, kan?
Usai pembagian kelompok, tiap kelompok diberikan waktu untuk menentukan nama kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok diwajibkan memiliki sebuah nama. Yang nantinya akan menjadi identitas mereka selama masa pelatihan
Berundinglah empat sekawan tersebut. Di sudut ruangan. Dengan wajah yang tampak berpikir keras.
“Superman?” Usul Ben.
“Emang kita superhero?” Jodi nggak setuju.
“Kagure?” Imam antusias. Nama kagure diambil dari nama sebuah desa di salah satu anime kegemarannya. Maklum, Imam itu penggemar anime banget. Kalau sedang libur dan ada dirumah, Imam sanggup menonton anime seharian penuh. Tanpa makan, tanpa mandi. Hiiiy...
“Nggak semua suka Jepang, Mam. Itu aja... mmmm... kelompok si Pitung.” Usul Jodi.
“Nggak semua orang betawi, Jod...” Kali ini Imam yang protes. Keki.
“Gimana kalau pakai salah satu judul album atau film gue yang teranyar. Itung-itung bantu promosi.” Caraka tersenyum penuh arti.
“Ketika cinta menyapa?” Caraka mulai mengusulkan judul album dan filmnya.
Imam, Jodi dan Ben nyureng.
 “Atau rembulan dimatamu?”
Imam, Jodi dan Ben nginyem.
“Atau... cinta kita berdua?”
Imam, Jodi dan Ben garuk-garuk kepala.
“Atau... Assalamu’alaikum Cinta.”
Imam, Jodi, Ben manyun.
“Atau... ada senyum diwajahmu. Atau mahligai cinta... Atau naungan cinta. Atau...”
“STOP!” Potong Imam, Jodi dan Ben kompak. “Stop Caraka. Please.” Ketiganya memasang wajah memelas.
“Nggak oke, ya?”  Caraka nyengir. Garuk-garuk kepala.
Ya, iyalah. Itu kelompok pelatihan atau judul telenovela. Cinta semua judulnya. Huft!
“Atau gini...” Caraka kembali bicara.
“STOP! Nggak!” Imam, Jodi dan Ben menolak kompak. Nggak ada toleransi lagi, sekalian aja mereka bentuk boyband terus nyanyi lagu-lagu melankolis, deh. Tapi mau membentuk boyband juga agak sulit sepertinya. Lha wong wajah yang cocok jadi boyband cuma Caraka. Heheh.
Setelah melalui diskusi panjang. Sementara waktu terus berjalan. Panitia pun sudah memberikan peringatan tenggang waktu, akhirnya keempat sahabat tersebut kembali berpikir keras. Dengan gaya masing-masing. Ada yang manyun, memonyongkan bibir, garuk-garuk kepala, entah itu berpikir atau lupa keramas. Lalu, ada pula yang memukul pulpen, ada yang berpikir sambil menyisir rambut seperti aktor ganteng kita, Caraka. Pokoknya macam-macam deh gayanya.
Tik,tok,tik,tok,tik,tok....
Bunyi jarum jam di dinding terdengar nyaring.
Tik,tok,tik,tok,tik,tok...
Seisi ruangan hening.
Hingga sejurus kemudian.
“Ijo Cabe!” Ben spontan. 
Imam, Jodi dan Caraka ngurut dada. Spontan sih spontan, reflek sih reflek, tapi kan nggak mesti bikin orang kaget, Ben...
“Imam.” Ben menunjuk teman-temannya berurutan. “Jodi, Caraka, dan Ben.”
Ben sumringah. Sedangkan Imam, Jodi dan Caraka masih nggak mengerti.
“Oke, kan...?” Ben menyeringai. Meminta kepastian. “Ijo Cabe singkatan dari Imam, Jodi, Caraka, Ben.”
“Keren!” Jawab Imam juga sumringah. Jodi dan Caraka pun sumringah.
Ijo Cabe bersorak gembira. “IJO CABE, YEAH!”


Bersambung....


READ MORE - JOMBLO MOVE ON (PART 2)

AKU MENCINTAI PALESTINA, SEPERTI AKU MENCINTAI INDONESIA


Aku mencintai Palestina
Seperti ku mencintai Indonesia
Jelas saja....
Tanpa bantuan ulama Palestina
Mungkin Indonesia belum lah merdeka
Tanpa pengakuan kedaulatan Palestina
Mungkin Indonesia belumlah ada dimata dunia

Aku mencintai Palestina
Seperti ku mencintai Indonesia
Seperti saat-saat ku belajar tauhid disurau
Bersama sang guru
Dengan kalam syahdu
Beratapkan langit cerah biru
Mendengar pula kisah perjuangan para nabi
Juga Palestina sebagai negeri bestari

Palestina
Negeri para anbiya
Pusat menuntut ilmu para ulama
Ruang meneliti para ilmuwan dunia
Beberapa abad lamanya
Semua tunduk
Bersujud kening-kening muslim sedunia
Sebab Palestina kiblat pertama
Tanah suci ketiga
Setelah Mekkah dan Madinah

Tapi kini Palestina
Menjelma duka-duka
Terbanjiri air mata disetiap sudut kotanya
Rumah-rumah dan gedung-gedung sekolah
Berubah menjadi puing-puing nestapa
Ketika Tel Aviv dengan buldoser dan rudal-rudal
Menggulung Palestina
Luluh lantak tuan nyonya

Para ayah dipenjara
Disiksa hingga hilang nyawa
Para ibu ramai-ramai dibunuh
Agar generasi Palestina tak lagi tumbuh
Maka bocah-bocah Palestina itu
Tiap waktu ada saja yang menjelma yatim piatu

Tak cukup sampai disitu tuan nyonya
Tel Aviv menghabisi bocah-bocah Palestina
Dengan fosfor dan rudal-rudal
Hingga organ tubuh mereka tercerai berai
Usus mereka keluar terurai
Dengan kejahatan melebihi fiksi itu
Perserikatan bangsa-bangsa hanya gagu... bisu...
Para aktivis HAM menjelma tuna rungu

Wahai kalian para pemimpin dunia
Tidakkah kalian miliki kepala dan dada?
Yang miliki fikir dan rasa
Wahai Engkau Ban kii moon yang miliki mata tak buta
Bukankah telingamu pun tak tuli
Atau jangan-jangan nuranimu memang sudah mati

Wahai perserikatan bangsa-bangsa
Dimanakah HAM itu
Yang tak muncul walau penderitaan Palestina amat pilu
Berapa banyak lagi darah harus tertumpah
Bayi-bayi hancur kepalanya
Untuk membangunkan tidur panjang kalian

Aku mencintai Palestina
Seperti aku mencintai para pejuangnya
Pemuda-pemuda hebat
Yang darahnya tertumpah harum semerbak
Untuk mempertahanka negeri Palestina tercinta
Tempat mereka dilahirkan
Tempat mereka dimakamkan

Seperti aku mencintai Indonesia
Seperti aku mencintai Bung Tomo dan pekik takbirnya
Dan resolusi jihadnya
Juga semangat pemuda Indonesianya
Dari tiap penjuru Indonesia
Dari masjid , gereja hingga vihara
Melipat penjajah hingga kecing dicelana








READ MORE - AKU MENCINTAI PALESTINA, SEPERTI AKU MENCINTAI INDONESIA

LELAKI NOVEL

Lukman terus berjalan. Menelusuri pintu-pintu yang tertutup rapat. Bukan sebab Lukman mengalami banyak penolakan, tetapi sebab Lukman sendirilah yang memilih untuk menutup rapat pintu-pintu itu.
Ia tak ingin menyakiti hati banyak orang. Sebab taruhannya sangat mahal. Akhirat. Apalagi bila Lukman sampai menyakiti hati wanita. Itu sama saja Lukman menyakiti hati ibunya. Tetapi ini soal pilihan. Soal selera. Tidak bisa dipaksakan.
Lukman sudah terlanjur tenggelam dalam novel-novel yang ia baca. Baginya, wanita sempurna didalam cerita-cerita fiksi itu memang ada dikehidupan nyata. Minimal kecantikannya persis para pelakonnya di layar lebar.
Lukman tidak mengandai-andai. Wanita seperti itu memang ada. Buktinya, si Ridwan, teman sekampusnya saat masih kuliah strata satu, sekarang sudah menikah. Istrinya cantik. Persis model majalah sampul.
Kalau Ridwan saja berhasil mempersunting perempuan yang kecantikannya setara dengan bintang-bintang layar kaca, apalagi Lukman yang saat dikampus aktif berorganisasi dan termasuk menjadi bintang kampus, tentulah Lukman akan mendapatkan pendamping yang keindahan rupanya sesuai dengan ilusinya. Ya, minimal mirip dengan bintang-bintang layar lebar di cerita-cerita fiksi.
“Memangnya perempuan seperti apa sih, Man, yang mampu memenuhi ekspetasimu?” Agung, sahabat Lukman, mendengus kesal.
Pasalnya, ayah beranak satu itu  sudah berkali-kali merekomendasikan calon istri untuk Lukman melalui bantuan sang Istri, tetapi selalu ditolak oleh Lukman.
“Simple, Gung. Kriteriaku nggak neko-neko, kok. Cukup seperti....” Lukman menunjuk kearah televisi. Saat itu Lukman sedang menyaksikan tayangan religi yang ditayangkan ditelevisi.
Begitulah jawaban Lukman tentang kriteria calon istri idamannya.
Kelakuan Lukman yang bisa dibilang tidak masuk akal itu sampai membuat Agung jengah. Kapok mencarikan Lukman calon istri. Biar Lukman cari sendiri saja. Toh ia bukan anak kemarin sore lagi. Paham ilmunya. Mengerti segala konsekuensi jalan hidup yang dipilihnya.
“Itu tuh kalau cinta yang nggak kesampaian. Jatuh cinta kok sama tokoh dalam cerita fiksi.” Agung geleng-geleng. “Ambil hikmah ceritanya, aplikasikan dalam kehidupan nyata kalau ada hal baiknya. Boleh mendamba. Tapi mesti realistis juga, Man.”
“Siapa bilang ini tidak realistis, Gung?”
 “Tapi ukuran kesholehan seseorang bukan dari kesolekannya.” Ucap Agung. “Dahulu orang-orang dalam memilih pendamping lebih mengutamakan kesholehannya bukan dari kesolekkannya.”
“Tapi kalau kesholehan dan kesolekkan bisa berjalan beriringan kenapa tidak, Gung?”
Begitulah perdebatan kecil antara dua orang sahabat. Lukman dan Agung. Tapi hal tersebut tetap tak mampu mengubah jalan pikir Lukman.
Lukman akan terus berjalan menelusuri lorong-lorong kehidupannya hingga ia menemukan sebuah pintu yang harus ia ketuk. Walau tak mudah, namun akhirnya Lukman menemukan pintunya pada seorang gadis berjilbab biru dihalaman masjid kampus strata duanya, usai dhuhur berjama’ah di mushola kampus.
Parasnya ayu, putih dan santun dalam balutan jilbabnya. Siapa nama perempuan itu, ya?
“Kamu tanya namanya?” Tanya Agung begitu usai Lukman menceritakan pertemuannya dengan sang gadis yang membuat hati Lukman berdegup kencang. Terperangkap dalam kekaguman.
Lukman menggeleng. Agak menyesal juga kenapa tadi ia tidak cepat-cepat menanyakan nama perempuan itu sebelum pergi meninggalkan mushola kampus.
Tapi setidaknya saat ini Lukman sudah menemukan pintu yang ingin ia ketuk. Perempuan berwajah bening, seperti ilusinya dalam cerita-cerita fiksi. Dan itu harus diperjuangkan. Harus!
===

Lukman telah memulai perjuangannya. Calon  pendamping idaman sudah didepan mata harus diperjuangkan. Baginya, jodoh memang tidak kemana, tetapi kan tetap harus dikejar. Harus diperjuangkan.
Ibarat kata orang bijak kalau jodoh tidak akan kemana, Lukman kembali bertemu dengan perempuan itu. Dihalaman masjid kampus. Usai sholat dhuhur berjama’ah dimasjid kampus.
“Anna!” Panggil Lukman. Tadi Lukman sempat mendengar teman perempuan yang bersama dengan gadis berjilbab biru muda itu memanggilnya dengan sebutan Anna.
Perempuan berjilbab biru yang Lukman panggil dengan sebutan Anna itu menengok.
“Anna, ya? Mahasiswi strata dua juga, ya?” Tanya Lukman ramah.
Anna menanggapinya dengan raut wajah heran.
“Saya Lukman. Mahasiswa strata dua ilmu komunikasi penyiaran. Kelas karyawan sabtu dan minggu.” Lukman memperkenalkan diri lagi.
Anna menatap Lukman penuh keheranan, buru-buru mengajak temannya untuk bergegas pergi meninggalkan Lukman.
Jelas saja Anna tampak ketakutan dan menghindar. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ada seseorang lelaki yang tidak dikenalnya sama sekali justru tahu namanya dan mengajak ngobrol ini itu.
 “Dia mahasiswa semester ganjil. Mahasiswi baru. Orangnya pendiam.” Begitu informasi yang disampaikan oleh Agung. Kedua sahabat itu, Agung dan Lukman memang kuliah strata dua di kampus dan jurusan yang sama.
Begitu mendengar Lukman sudah menemukan perempuan sesuai dengan kriterianya setelah pencarian sana sini, sebagai sahabat, Agung merasa terpanggil untuk membantu ikhtiar Lukman dalam menjemput jodoh sahabatnya itu. Makanya Agung sampai rela mencari informasi kemanapun mengenai Anna.
Lukman kembali menemui Anna. Berbeda dengan sikap Anna sebelumnya yang langsung menghindar. Kali ini Anna sedikit memberikan ruang kesempatan kepada Lukman. Saat itu keduanya duduk di lantai satu masjid kampus. Saling berhadapan dengan jarak satu meter. Anna sedikit menunduk.
“Anna, maafkan apabila nanti pernyataanku membuatmu terkejut. Beberapa hari lalu aku sudah memperkenalkan diri padamu. Mungkin kau akan terkejut, tapi aku bukanlah tipe lelaki yang berbelit-belit.” Lukman membuka pembicaraan. Memberanikan diri.
Anna masih agak menunduk. Hanya bulu matanya yang lentik sesekali menyembul.
“Aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu.”
Mata Anna sedikit membesar. Tampak jelas betapa kagetnya Anna mendengar pernyataan cinta Lukman.
“Kamu sudah ada kekasih atau calon kekasih?” Tanya Lukman.
Anna menggeleng kemudian perempuan berhidung runcing itu menunduk kembali.
“Aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepadamu Anna. Aku ingin menjadikanmu sebagai istriku. Aku berniat melamarmu.”
Anna terperangah kaget. Pernyataan Lukman hari itu sungguh membuat gadis pemalu seperti Anna kaget luar biasa. Anna menggerakkan mulutnya dan ingin mengatakan sesuatu, namun hal tersebut dipotong oleh pernyataan Lukman yang lain.
“Aku tahu kau pasti terkejut sekali. Oleh karena itu pertanyaanku tak perlu kau jawab sekarang juga. Berpikirlah baik-baik terlebih dahulu dan istikharah lah. Minggu depan aku tunggu jawaban darimu ya, Ann?” Ucap Lukman kemudian bersegera pamit meninggalkan gadis yang kecantikkannya persis artis layar kaca itu dalam kebingungan.

===

Hari semakin berlalu. Waktu pun terus berjalan. Lukman sudah tidak sabar mendengar jawaban dari Anna.
Akhirnya hari itu tiba juga, bukan mendengar langsung dari lisan Anna, justru Lukman hanya mendapatkan satu pesan melalui sms dari Anna yang berbunyi ‘Maaf, saya belum memikirkan pernikahan.’ Hanya itu. Tak ada penjelasan apapun.
Sms Anna hari itu bagai petir disiang bolong. Lukman tidak siap dengan jawaban Anna. Sebab, sebelumnya Lukman sangat yakin kalau Anna pun akan mencintainya dan akan menerima ajakan menikah darinya.
Cita-cita memiliki istri sempurna, baik fisik maupun akhlaknya seperti didalam cerita-cerita fiksi sepertinya harus Lukman kubur dalam-dalam
Tapi Lukman tidak bisa tinggal diam begitu saja. Apalagi setelah jawaban Anna melalui sms tersebut, Anna seperti menghilang dari muka bumi. Tidak ada kabar sama sekali. Susah ditemui, baik di masjid kampus, perpustakaan atau tempat-tempat dimana biasanya Lukman melihat Anna dari kejauhan.
Lukman butuh penjelasan mengapa lamarannya ditolak. Padahal Anna lah satu-satunya pintu yang ingin Lukman ketuk daripada pintu-pintu lain. Anna lah satu-satunya wanita yang sesuai dengan segala ilusi dan delusinya tentang kesempurnaan wanita seperti didalam cerita-cerita fiksi.
Telpon Lukman tidak pernah diangkat. Sms dan email Lukman pun tidak pernah dibalas oleh Anna. Lukman terus mencari kepastian jawaban dari Anna. Lukman butuh penjelasan langsung dari Anna. Lukman tidak ingin harapannya pupus begitu saja.
Anna keluar kelas bersama sahabat perempuannya. Didepan kelas sudah ada Lukman yang menunggu Anna keluar kelas. Anna sempat tertegun melihat kehadiran Lukman. Tapi itu sama sekali tak mengubah keputusan Anna.
“Boleh aku tau penjelasan mengenai penolakan ini?” Tanya Lukman.
Anna menoleh. Menghela nafas. Kemudian berjalan lagi.
 “Aku mencintaimu, Anna. Tidak kah itu cukup?” Tanya Lukman lagi. “Aku jatuh cinta sejak pertama kali melihatmu. Bukankah solusi untuk orang yang jatuh cinta agar dapat menahan pandangannya adalah dengan menikahinya?
Aku tahu kau pasti kaget dengan pernyataanku. Tetapi bukankah seharusnya kau memberikan sedikit ruang kesempatan untuk lebih mengenalku agar dapat meyakinkan mu dalam menerima ajakan menikah dariku?”
Berbagai upaya Lukman lakukan. Namun, gadis itu tetap tidak bergeming. Masih diam dan berkukuh dengan keputusannya. Membuat Lukman putus asa dan kehilangan rasa sabar melihat sikap Anna yang pasif dan keras kepala.
“Kalau kau tidak mau menerima cintaku, silahkan. Biarlah aku mencari wanita lain. Bukan muslimah dan tidak berhijab pun tidak apa-apa.” Cecar Lukman setengah mengancam. Dan itu ampuh mengubah sikap pasif Anna.
Anna terhenyak. Matanya semakin membulat. Tampak jelas kecemasan diwajahnya.
Ditatapnya mata Anna. Lukman mencoba mencari kejujuran dari bola mata Anna yang indah seperti cleopatra. Anna cepat-cepat menunduk.
“Aku hanya ingin mendengar penjelasan dan pendapatmu.” Ucap Lukman lagi. Berharap mendengar itu semua, Anna akan berubah pikiran.
Namun, Anna tetap berkukuh. Diam seribu bahasa. Pergi meninggalkan Lukman.

                                                                 ===                         

Cinta harus diperjuangkan. Apalagi ini termasuk cita-cita Lukman memiliki istri seperti Anna. Maka Lukman pun terus mencari kepastian kepada Anna. Lukman hanya butuh penjelasan lebih lanjut. Ia hanya butuh mendengarkan langsung dari lisan Anna.
Lukman terus meyakinkan Anna kalau cintanya tulus. Bukan semata-mata sebab kecantikan wajahnya. Walaupun sejujurnya itu juga yang menjadi faktor Lukman jatuh cinta kepada Anna.
Beberapa minggu telah berlalu. Kerja keras dan kesabaran Lukman bisa jadi membuahkan hasil. Baru saja ia mendapatkan sms balasan dari Anna. Isi sms tersebut menginformasikan kalau Lukman ditunggu oleh Abah Anna dirumah. Dan tentu saja itu membuat Lukman bahagia luar biasa.
Segera ia menemui sahabatnya, Agung. Sebagai perantau, di Jakarta ini Lukman tidak memiliki kerabat siapapun. Orang tua dan kerabat Lukman sendiri dikampung. Sangat tidak mungkin Lukman pulang kampung dulu untuk menjemput kedua orang tuanya. Nanti saja kalau sudah acara lamaran resmi. Toh, hari ini Lukman kan baru bersilahturahmi. Jadi, Agung lah yang bisa diharapkan untuk menemani Lukman bertemu dengan Abah Anna.
“Kubilang apa, Gung. Kesempurnaan itu penting. Kadar sholeh dan solek harus dapat semuanya.” Lukman begitu bahagia hari itu.
Agung hanya berdehem.
Tanpa banyak basa-basi lagi, keduanya menuju rumah Anna. Bertemu dengan Abah Anna.
Diruang tamu sudah ada Abah dan Anna. Saat itu Anna memakai jilbab warna biru seperti saat pertama kali Lukman melihat Anna di masjid kampus. Setelah sedikit basa basi, Lukman menjelaskan maksud kedatangannya. Lukman berniat mempersunting Anna sebagai Istri.
Abah pun tampak senang mendengarnya. Sedangkan Anna hanya menunduk.
Melihat kepandaian Lukman dalam berbicara, serta mendengarkan cerita-cerita segala macam prestasi Lukman dan pekerjaannya, orang tua manapun pasti akan setuju mendapatkan menantu seperti itu.
Sebagai ayah yang bijak, Abah selalu menyerahkan keputusan apapun kepada Anna yang akan menjalaninya.
“Kalau Abah pada dasarnya insya Allah setuju saja dengan Nak Lukman. Tapi yang akan menjalaninya kan Anna. Silahkan tanyakan kepada Anna.” Kata Abah bijak.“Bagaimana, Na?”
Anna masih diam. Seperti biasa, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Anna. Hanya tangannya yang bergerak-gerak seperti memberikan isyarat.
Senyum Lukman yang terkembang seketika pias. Ada yang janggal.
Anna tidak berbicara apapun. Namun tangannya terus bergerak memberi isyarat.
Anna? Bisu? Sejak kapan?
Tenggorokan Lukman tercekat. Ternyata ini adalah jawaban atas sikap diam Anna selama ini.
“Tentunya Nak Lukman sudah tau kan kekurangan Anna?” Abah meyakinkankan.
“Man, Anna ternyata bukan pendiam, ya?” Bisik Agung. “Maaf. Aku benar-benar tidak tahu, Man. Kau sendiri sudah tahu?”
Tenggorokan Lukman tercekat. Ego nya sebagai manusia biasa yang selalu mencari kesempurnaan bermain disini. Saat ini adalah pembuktian ia termasuk lelaki pecundang atau lelaki sejati dengan ketepatan kata-katanya.
Lukman masih mematung. Ada sesal hadir menghampirinya. Bukan sesal karena ia bertemu dan jatuh cinta kepada Anna. Tetapi karena sikap pengecutnya. Sikap pecundangnya yang membuat Lukman mesti berlama-lama ragu dan bertarung dengan ego nya yang berkuasa.
Wajah Lukman pucat pias. Sepertinya Anna tahu itu. Wajah kecewa Anna, Lukman tidak akan pernah lupa.
Tiba-tiba sekeliling gelap dan...
Brukk!!
Samar, terdengar orang-orang memanggil nama Lukman.

===

Lelaki sejati bukan ia yang pandai bicara tetapi ia yang mampu menepati segala kata.


READ MORE - LELAKI NOVEL
 

TWITTER SAYA

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.