Kali ini gue mau kenalin nih teman-teman jomblo yang bisa jadi senasib dengan kita.. (Kita? Lu aja keuleus.. gue nggak..!!)
Oke, sip, senasib sama gue. (Ngasah batu akik).
=========================
Cerita
ini berawal dari persahabatan yang sudah lama Imam jalani. Saat-saat ia baru saja lulus SMU dan dipaksa
oleh Mama dan Papanya untuk kuliah di sebuah universitas yang terkenal dengan fakultas teknik
komputer nya.
Bina Teknologi
Indonesia.
Konon,
Bina Teknologi
Indonesia adalah kampus bersejarah bagi Mama dan Papa Imam. Sebab, di sanalah mereka berdua
bertemu, kemudian
jatuh cinta dan menikah. Menghasilkan
makhluk ganteng seperti Imam. Narsis Imam berulang kali.
Menghibur
diri.
Daripada nggak
ada yang memuji, maka memuji diri sendiri itu menjadi kebutuhan penting bagi
makhluk jangkung
berwajah jawa itu.
Selain
Imam, ada lagi makhluk aneh dalam keluarga Imam, yaitu Citra. Adik semata
goleknya. Sifatnya beda 180 derajat dengan Imam. Kalau Imam
orangnya sedikit kalem dan serius, beda lagi dengan adiknya, Citra. Lincahnya
luar biasa.
Apalagi
Citra itu tomboy abis.
Rambutnya ala jamur payung. Kemana-mana selalu bergaya casual. Hal lain yang membuat mereka sangat
berbeda adalah postur tubuh. Jika postur Imam tinggi dan gagah semampai seperti
aktor Fedi Nuril,
lain halnya dengan Citra,
posturnya imut seperti Nirina Zubir saat do’i
masih muda.
Pokoknya beda banget, deh.
Kita
tinggalkan dulu
makhluk-makhluk dalam keluarga Imam. Kita tengok si kalem Imam. Hari ini Mama dan
Papa Imam sedang berbunga-bunga.
Sebab, Imam berhasil masuk
universitas
tanpa test. Maklum, Imam memang anak yang
pandai di SMU tempat ia sekolah dulu.
Bahkan, masuk
sepuluh besar nilai tertinggi ujian nasional.
Ratusan mahasiswa baru
berbondong-bondong memasuki area kampus. Dalam sekejap, halaman kampus kebanggaan Mama
dan Papa Imam itu berubah menjadi lautan manusia.
Hari
itu semua mahasiswa baru dikumpulkan di halaman kampus yang luasnya hampir satu
hektar. Mereka
semua dikumpulkan bukan karena akan ada konser di sana. Tetapi, karena pelaksanaan ospek yang
diadakan oleh kampus. Sebuah proses pengenalan dan sosialisasi lingkungan,
peraturan dan budaya kampus.
Imam
sendiri nggak menyukai sistem
ospek yang dijalani sebagian besar sekolah maupun perguruan tinggi di Indonesia.
Menurut pemuda jangkung
berkacamata bening itu,
sistem seperti itu sangatlah nggak mendidik. Bagaimana
mungkin kita dapat mengenal sebuah kampus dengan cara di bentak-bentak, memakai name tag
besar-besar, kemudian memakai pita warna-warni untuk mempermalukan diri sendiri
dan mematuhi perintah konyol lainnya.
Ah,
jauh dari
esensi pendidikan!
Sebab,
perilaku seperti itu hanya akan melestarikan budaya balas dendam setiap tahun nya.
Imam mendesis dengan suasana di sekelilingnya.
“Heh, lo yang disana!” Lelaki bertubuh besar
mirip Ade Ray itu tiba-tiba melotot kearah seorang lelaki yang berbaris tepat
di depan Imam. Para mahasiswa baru memanggilnya dengan sebutan Bang Rambo.
Dengan wajah polosnya, Lelaki bermata tajam namun memiliki senyum cerah itu celingak-celinguk. Dia
selidiki kanan kirinya. Nggak
ada yang bernama ‘Lo’.
“Ada yang namanya ‘Lo’?” Tanya lelaki itu tiba-tiba kepada Imam.
Imam tergeragap. “Bu, bukan. Nama gue Imam. Imam Wibowo”
“Nama gue Ben simple.” Ujar Ben
tersenyum.
“Heh, lo yang
tengak-tengok!”
Bang Rambo makin
bersungut-sungut
Ben yang
nggak sadar kalau dirinya lah yang dipanggil, tetap
baris dengan posisi istirahat ditempat.
Pandangannya lurus, selurus jalan tol.
“Eh, serius nama lo Ben simple?” Bisik
Imam penasaran. “ Lucu banget?”
“Bu, bukan. Maksud gue nama gue itu Ben aja.” Ben protes. “Ben.”
“Ooh..!” Imam ber-oh ria.
“Ben...!!!”
Teriak Bang Rambo dengan
alat pengeras suara. Tahu nama Ben dari name
tag besar yang Ben pakai. Sontak, semua menoleh kearah Ben.
Siiiing…!
Hening.
Hanya
suara angin kampus yang mendesis kencang.
Ben
meringis. Narsis.
“Saya,
Bang?” Tanyanya dengan wajah
nggak berdosa.
“Iya, lo. Sini!”
Walau
sebal dibentak-bentak seperti itu akhirnya Ben menurut juga. Mengikuti
perintah sang senior untuk menghampirinya.
“Pita lo mana?”
Bentakkan Bang Rambo membuyarkan lamunan Ben.
“Pi, pita?” Tanya Ben bingung.
“Iya, pita warna biru. Setiap peserta kan wajib bawa pita. Baik itu yang
cowok maupun yang cewek.” Ujarnya makin gemes dan bersungut-sungut melihat tingkah
Ben yang datar-datar aja.
“Oh... Sebentar, Bang.” Ben mengangguk-angguk dan merogoh kantong
celananya. Seperti mencari sesuatu.
Ben terus merogoh kantong celananya. Mencari sesuatu.
Bang Rambo dan semua peserta fokus kearah Ben.
Kali ini Ben memasang wajah bingung. Seperti kehilangan sesuatu. Melihat
tingkah Ben, Bang Rambo makin memasang wajah sangar.
“Lo sebenernya bawa nggak, sih?”
“Sebentar, Bang. Ini lagi dicari.” Ben dengan wajah seriusnya masih mencari
sesuatu dikantong celananya.
Bang Rambo mengetuk-ngetuk-an sepatunya. Menunggu Ben. Ini bocah cari
pita atau harta karun, sih?
Lamaaa baaangeeeet..!
Semua perhatian peserta tertuju kearah Ben. Mereka ikut menanti Ben. Imam
juga penasaran dengan isi kantong celana Ben.
Ben sendiri masih sibuk merogoh kantong celananya. Dengan berbagai macam
ekspresi wajah. Kadang serius, kadang seperti orang bingung, kadang manyun,
kadang wajahnya sumringah.
Semua menunggu Ben. Nyureng.
Hingga sejurus kemudian...
“Alhamdulillah....!!!” Ben berteriak nyaring. Senang bukan kepalang. Bang
Rambo dan ratusan peserta pun tampak
senang dan lega.
“Udah ketemu?” Bang Rambo ikut sumringah. Penasaran.
“Udah, Bang.” Ben mengangguk kegirangan.
“Syukurlah kalau begitu.” Bang Rambo ikut lega dan senang “Mana?”
“Ini, Bang.” Ben menunjukkan kartu commuter
line “Masih ada sisa uang saya disini.” Ben menghela nafas santai.
Kontan, Bang Rambo melotot sangar. “Lo ngerjain gue, ya?”
Ben menggeleng dengan memasang wajah polos. “Nggak, Bang. Saya kan anak
baik-baik jadi nggak mungkin saya ngerjain
orang lain.”
Semua peserta terpingkal. Termasuk Imam.
“Jadi, maksud lo gue bukan anak baik-baik, makanya ngerjain peserta ospek?”
Bang Rambo melotot sangar.
Ben makin memasang wajah polosnya. “Lho, emang Abang lagi ngerjain kita?”
Semua peserta menahan tertawa. Kak Rambo tergeragap. “Ya, ya, ya nggak
sih...”
“Terus dari tadi lo nyari ini?” Tanya Bang Rambo gemas.
“Iya, Bang.” Jawab Ben masih memasang wajah sok polos.
Semua tertawa.
Melihat ribut-ribut antara Ben dengan sang senior berbadan besar, panitia
lain ikut menghampiri. “Ada apa, nih?”
Kali ini panitia cewek mirip Rani
Mukherje. Artis bollywood idola Ben,
menghampiri Ben dan melotot sangar.
“Kamu pitanya mana?”
Cantik-cantik begitu, ternyata si Kak Rani Mukherje judes banget.
“Nggak bawa, Kak.” Jawab Ben
santai .”Apa pita ada hubungannya dengan mengenal kampus, Kak?”
Si Kak Rani Mukherje terhenyak. Speechless.
“Kalau memang sudah peraturannya,
ya, jalankan aja!” Ucap Kak Rani Mukherje.
“Peraturan dari kampus?” Tanya Ben masih dengan wajah sok polosnya. “Di
buku panduan nggak ada, kak.”
Mendengar itu semua peserta ospek tertawa.
Semua panitia kontan melotot. Peserta mingkem.
“Karena setahu saya, pita itu untuk acara peresmian.. bla bla bla.” Ben terus mengoceh
seperti burung beo.
“Ah, udah!” si Kak Rani Mukherje kesal juga. “Lo mending ke barisan anak-anak yang dihukum, deh.”
Si Kak Rani Mukherje kapok juga. Daripada Ben semakin
ngoceh panjang lebar, dan bikin hati
makin keki, lebih baik Ben diasingkan
ke habitat lain, eh, barisan lain.
Bukannya masuk ke dalam barisan anak-anak yang dihukum,
dengan santainya Ben kembali ke dalam barisannya semula.
Berulang kali panitia ospek meneriaki Ben untuk masuk
kedalam barisan anak-anak yang dihukum. Tapi Ben nggak juga bergeming. Do’i malah asyik melempar senyum kuda
nya dan memasang wajah polos.
Eh, dilalah...
anak begini kenapa bisa diterima dikampus ini, sih? Untung cuma satu. Lha kalau
banyak, bisa drop out ramai-ramai nih
panitia ospek. Huh!
Lagi-lagi panitia ospek nyerah juga. Baru kali ini mereka
ospek mahasiswa baru yang agak-agak gimanaaaaa.. gitu. Hiks!
Sementara itu,
bagi peserta yang belum menjalani hukuman, mendadak pucat pasi. Mereka nggak
mau berurusan dengan makhluk narsis bernama Ben itu. Karena makluk bernama Ben
itu sudah bikin keki seluruh panitia ospek kampus.
“Kenalin nama gue Ben.” Ben menegur
lelaki agak gemuk disampingnya.
Imam heran melihat sosok lelaki beralis tegas dan sinar mata cerah yang
berbaris dihadapannya, bisa
menghadapi panitia ospek dengan santai. Imam kembali serius mendengarkan arahan senior
di depan. Tapi, pembicaraan antara Ben dan lelaki gendut disampingnya itu
terdengar juga.
“Nama gue Jodi.”
“Oh, Jodi?” Ben ber-oh ria.
Si Jodi jadi pucat pasi diajak ngobrol Ben. Sebab, Jodi nggak mau cari gara-gara
dengan senior hanya karena masyuk berbincang dengan makhluk yang sedari
awal senyam senyum ke kanan kiri itu.
Beruntung, sekarang Ben berpindah haluan.
Ben tersenyum kearah Imam. “Fakultas mana?”
“Fakultas teknik.” Jawab Imam santai.
“Teknik komputer?” Tanya Ben penasaran.
Imam
mengangguk.
“Jangan-jangan sekelas kita.” Ben antusias.
“KELAS SEBELAS SATU A?” Ujar Imam dan Ben nyaring. Kompak.
“Ssssst....!” Semua yang ada dilapangan mendesis. Para panitia kontan
melotot kearah mereka berdua.
Imam dan Ben meringis. Peace...
“Lho, setiap barisan kan memang udah masing-masing kelas!” Jawab Jodi
ketus.
Oh, iya. Hehe...
Imam dan Ben terdiam sambil garuk-garuk kepala.
“Tadi kenapa bisa dipanggil kedepan sama senior?” selidik Imam ingin tahu.
“Gue cuma bawa makan siang, name tag, dan peralatan tulis aja. Barang-barang yang menurut gue nggak ada hubungannya dengan proses mengenal
kampus nggak gue bawa.” Ben
tersenyum.
“Sengaja atau memang lupa?”
“Sengaja.” Ujar Ben. Sesekali melempar senyum narsis ke sekelilingnya.
“Nggak takut dihukum lo?” Tanya Imam salut.
“Nggak.” Jawab Ben santai.
“Sesekali harus ada yang berani merubah sistem ini. Kasihan dunia pendidikan
kita kalau harus diwarnai dengan kegiatan yang berdampak negatif hingga jangka
panjang.”
“Maksud lo?”
“Iya lah. Nggak sedikit para
mahasiswa yang nantinya ingin ikut organisasi hanya untuk eksis dan balas
dendam kepada para mahasiswa baru tahun berikutnya. Kasihan kan mahasiswa
lainnya, karena uang mereka terpakai justru untuk mempermalukan mereka sendiri.
Kegiatan ospek begini kan juga bersumber dari dana kemahasiswaan. Dana
kemahasiswaan kan bersumber dari mahasiswa juga setiap semesternya. Untuk
membiayai kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa yang ada dikampus ini.”
“Kok lo bisa tahu Ben?”
“Kan gue baca di perincian biaya kuliah. Kan lumayan bisa buat makan
diwarteg seminggu.” Ben berakting lemas.
Imam tertawa.
“Walaupun banyak juga yang bersungguh-sungguh berorganisasi karena
idealisme agent of change yang mereka
yakini kebenarannya. Nah, itu gue baru rela banget uang gue dipakai untuk
acara-acara mahasiswa yang bermanfaat kayak gitu.
Misalkan bakti sosial, ajang kompetisi mahasiswa, pokoknya yang manfaat,
deh. Biar uang yang gue sumbangin setiap semesternya nggak mubazir.” Ujar Ben
panjang lebar.
Imam mengamini pendapat teman barunya itu. Diam-diam Imam salut juga dengan
Ben. Sekilas, orang yang baru melihatnya akan menilai Ben makhluk urakan, cengengesan,
iseng dan bikin gemes orang. Tapi, ternyata wawasannya luas, lugas, dan cerdas.
“Ngomong-ngomong nama lo kok
mirip nama komedian, ya?” Tiba-tiba Ben fokus kembali ke arah Jodi.
Ben kini kembali fokus pada lelaki gemuk yang sedari tadi komat kamit
supaya dijauhkan dari makhluk narsis seperti Ben.
Jodi merintih dalam hati. Apes.
“Kenapa emangnya?” Jodi sewot.
“Ah, nggak kenapa-kenapa. Mau tau
aja. Nanti kita kan berteman bro.” Ben tersenyum lebar. “Biasanya karena senasib dan seperjuangan akan membuat
kita menjadi teman.”
Tanpa
ada yang bertanya maupun memberikan perintah, Ben kemudian bercerita panjang
lebar. Memperkenalkan dirinya pada Imam dan Jodi. Pede abis pokoknya!
Ben berasal dari Lampung. Lelaki berkulit sawo matang itu anak terakhir
dari tujuh bersaudara. Bapaknya seorang pegawai negeri daerah setempat,
sedangkan Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Nggak bekerja dan full mengurusi anak dan suami. Sebab,
memang itulah kewajiban bagi seorang istri.
Keenam kakak Ben masing-masing sudah menikah dan memiliki keluarga. Ada
yang sudah memiliki rumah sendiri. Adapula yang masih menemani Ayah dan Ibunya
di Lampung.
Ben sendiri baru kali ini merantau ke Jakarta. Setelah ia berhasil menjadi
mahasiswa Bina Teknologi Indonesia. Kampus yang tersohor dengan fakultas teknik
komputernya. Dan harus nge-kost di
daerah ragunan. Dekat dengan kampus.
Jodi sendiri yang awalnya sedikit tertutup, akhirnya cerita panjang lebar
juga.
Jodi asli Jakarta. Doyan makan, baca komik dan fotografi. Anak pertama dari
empat bersaudara. Jodi adalah satu-satunya anak lelaki di keluarganya. Ketiga
adik-adiknya perempuan semua. Maka dari itu Jodi memiliki beban di tuntut untuk
menyelesaikan kuliah tepat waktu dan segera menikah, agar ketiga adiknya mudah
menikah tanpa harus melangkahi Jodi, begitu kata Babeh dan Nyak nya Jodi.
Maka sejak itulah pertemanan diantara ketiganya dimulai. Pertemanan sesama
anak-anak fakultas teknik komputer. Pertemanan sesama jomblo.
ààà
Ini masih berkaitan dengan kisah
awal-awal persahabatan mereka. Saat trio jomblo itu sedang mengalami
masa-masa galau, padahal baru tiga bulan mereka menjalani masa perkuliahan.
Selidik punya selidik, ternyata penyebab kegalauan mereka adalah masalah
perempuan. Tentang status jomblo yang
mereka punya. Kemana-mana hanya bertiga. Mulai dari nongkrong-nongkrong di
halte bis, di perpustakaan, di kelas, sampai berhutang di warteg dan di kantin kampus pun bertiga.
Usaha demi usaha sudah mereka lakukan. Demi mendapatkan pasangan dan
melepaskan status jomblo mereka. Mulai dari usaha pendekatan ke cewek-cewek
populer di kampus hingga nekat dateng kerumah masing-masing inceran mereka untuk
caper ke camer alias cari perhatian ke calon mertua. Tetapi, hasilnya nihil!
Salah satunya Jodi. Baru tiga bulan do’i
kuliah tapi Jodi udah kepincut sama Santi. Anak dari ibu
kantin di kampus. Mantap, nggak, tuh? Katanya, karena terlalu sering makan di
kantin kampus dan seringnya interaksi bertemu, itu yang membuat Jodi jadi jatuh
cinta. Makanya do’i bela-belain
berhutang. Supaya bisa sering bertemu dengan Santi. Ah, hutang ya hutang aja,
alasan aja ituuu...!
Kalau Jodi kepincut dengan anak
ibu kantin di kampus, Imam beda lagi ceritanya. Imam mungkin tipe lelaki setia.
Jika sudah jatuh cinta sekali, maka ia akan bertahan dengan perasaannya itu.
Perempuan beruntung yang mampu memenuhi ruang hati Imam adalah Sofura. Ia
mengenalnya sejak SMU. Mereka memang satu sekolah, tetapi berbeda kelas,
padahal sama-sama kelas IPA. Sofura sendiri mungkin nggak tahu kalau di muka
bumi ini ada lelaki yang bernama Imam Wibowo. Sebab, mereka memang bukanlah
teman.
Sofura adalah makhluk manis terpopuler di sekolah. Selain cantik dan
pintar. Sofura juga siswi yang aktif di berbagai organisasi sekolah dan ramah
terhadap siapapun. Memiliki inner beauty.
Itu yang membuat Imam jatuh cinta kepada perempuan manis berjilbab itu.
Dan dari dulu hingga keduanya telah sama-sama lulus seperti saat ini, satu
katapun belum pernah Imam ungkapkan. Ia hanya mampu mencintai dalam diam. Imam
sendiri nggak tahu dimana Sofura saat ini.
Berbeda dengan
Jodi dan Imam, Ben termasuk orang yang santai dengan statusnya. Inginnya sih
segera bertemu dengan perempuan cantik, kemudian jatuh cinta dan lakukan
pendekatan serius. Ia nggak ingin menjomblo terlalu lama. Tapi setelah
mengalami banyak penolakan dan gagal pedekate, Ben putus asa duluan.
Hati Ben belum mampu terpaut
pada siapapun. Sebenarnya, bukannya belum terpaut pada siapapun, tapi
masalahnya nggak ada hati cewek yang terpaut terhadap Ben. Kasihan Ben. Hihi!
“Gila, cantik banget tuh cewek!” Jodi berdecak kagum.
Seperti biasa, kalau nggak ada jam kuliah, Ben, Imam dan Jodi menghabiskan
waktu mereka di parkiran kampus. Menjadi kunang-kunang alias kuliah nangkring
kuliah nangkring. Entah sekedar nongkrong¸
atau turut membantu Mang Oyon si petugas parkir kampus untuk memarkirkan
kendaraan para mahasiswa dan menambah penghasilan.
“Mana?” Ben terperanjat. Melemparkan pandangan ke sekitar.
“Wooo!’ Jodi dan Imam bersorak. “Denger cewek cantik aja langsung kayak
orang kebakaran jenggot.”
Ben meringis. Memasang wajah sok cool
nya.
Seorang perempuan turun dari mobil berwarna merah berjenis city car. Mengenakan long dress merah muda dibalut cardigan putih tulang. Tubuhnya kurus dan tinggi semampai.
Rambutnya hitam lurus sepinggang. Mirip Raline Shah. Memakai kacamata hitam
sambil membawa beberapa diktat kuliah di lengannya.
Dan saat itu seperti ada hembusan angin kencang yang menerpa wajah trio
jomblo itu. Terpana sejadi-jadinya.
“Mau gue langsung lamar aja
rasanya.” Ben mengandai-andai.
“Gaya lo! Lulus kuliah aja belum,
udah mau ngelamar anak orang aja.”
Ujar Jodi sekenanya. “Pendekatan dulu kali, Ben.”
“Oh, gitu, ya?” Ben mengangguk-angguk. Pandangan ketiganya masih belum
lepas dari perempuan mirip Raline Shah tersebut.
Dari kejauhan, perempuan yang begitu mencuri perhatian dari ketiga jomblo
tersebut tampak kesulitan memegang buku dan hampir saja terjatuh. Seperti
adegan-adegan di beberapa sinetron. Kontan, Imam langsung sergap mencegah dan
memegangi buku si Raline Shah.
Keduanya saling menatap untuk beberapa detik. Waktu seakan berhenti. Dunia
seperti berputar-putar. Sebelum ada yang mengacaukan suasana.
Jreeng... Jreeng... Jreeng
“Kaaauuu masih gadiiis... atau sudah jandaaa..., tolong katakan sajaaa
jangan maaluuu....” Ben menyanyikan lagu dangdut yang masyur sambil memainkan
gitar dengan percaya dirinya. Padahal suaranya sember banget.
Imam dan si gadis pun tergeragap.
Tok!
Sebuah botol air mineral kosong mendarat di kepala Ben. “Bukan itu lagunya,
Ben. Yang bener aja lo, mau kenalan nyanyi
lagu kayak gitu?” Omel Jodi sambil menahan malu,
Imam menahan tawa. Begitupun dengan si gadis mirip Raline Shah.
“Nggak boleh, ya?” Ujar Ben
polos. “Maaf, deh!”
“Nama gue Ben.” Tanpa banyak cincong lagi
Ben memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangannya.
“Nama gue Raline.” Ujar Raline ingin berjabat tangan juga, tapi belum
sempat Ben dan Raline saling berjabat tangan, Jodi langsung menerobos menjabat
tangan Raline. “Gu, Gue Jodi” Ucap Jodi gugup.
Ben dan Imam kontan mendelik. Raline tertawa lucu.
“Wooo!” Ben protes.
“Inget Santi, tuh.” Imam meledek.
“Oh, iya.” Jodi melepas tangan Raline.
“Sorry ya tadi. Nama gue Imam.”
Imam kikuk.
“Iya nggak apa-apa. Makasih, ya.”
Ben dan Jodi saling mencibir.
“Eh, serius namanya Raline?” Ben penasaran “Jangan-jangan namanya Raline
Shah?”
“Kok tahu?” Tanya Raline.
“Artis, ya?” Ujar trio jomblo kompak.
“Bukan.” Raline tersenyum. “Gue bukan artis Raline Shah yang di televisi,
namanya aja yang sama.”
“Kuliah disini?” Tanya Imam.
“Fakultas apa?” Cecar Jodi.
”Kok, kita nggak tahu ya ada nama
Raline di kelas?” Ben terus mengingat-ingat. Dengan mulut yang elastis sedikit
di manyunkan dan kepala menengadah ke
langit. Seperti pawang hujan yang komat kamit minta hujan diturunkan dari
langit kalau musim kemarau.
“Gue bukan mahasiswi kampus sini, kok. Diktat pacar gue ketinggalan.”
Raline menjelaskan.
“PACAR...?!?” Tanya trio jomblo itu terkejut.
Raline mengangguk. “Tuh, orangnya.” Raline menunjuk kedepan, diikuti oleh
kepala trio jomblo.
Disana ada sesosok pria tampan dengan wajah mirip aktor korea turun dari
mobil Alphard berwarna putih, kemudian berjalan menghampiri trio jomblo itu
berada, umpama super star diantara kerumunan orang-orang. Tinggi, gagah, putih, tampan, pokoknya kalau
kata pesulap Demian “Sempurna”.
Ketiga jomblo itu mendadak
minder. Ben yang semula kepercayaan dirinya berada di tingkat ujung monas, kini
mendadak runtuh nggak berdaya. Begitu juga dengan Imam dan Jodi.
Mana mungkin mereka bersaing dengan lelaki seperti itu. Perbandingannya
seperti pangeran ber-alphard putih dan tiga kurcaci jomblo. Hehe.
Tunggu dulu! Ketiganya mengingat-ingat. Wajah lelaki tampan yang semakin mendekat
kearah mereka tampak nggak asing. Seperti
yang sering muncul di film layar tancep eh layar lebar maksudnya.
“Nah, kalau dia memang artis.” Raline menjelaskan.
Tuh, kan...!
“Hai, sayang, udah lama?” aktor berwajah ganteng itu langsung mendaratkan ciuman
ke kedua pipi Raline.
Sementara itu ketiga jomblo salah tingkah melempar pandangan ke lain arah.
“Baru, kok.”
“Teman kamu?” Tanya sang aktor penasaran dengan kehadiran tiga makhluk
dihadapannya.
Trio jomblo meringis kompak.
“Ih, ini teman kamu, honey!”
Raline protes. “Imam, Ben, Jodi, kenalin pacar gue.”
“Caraka.” Lelaki yang mengaku bernama Caraka itu memperkenalkan dirinya dan
tersenyum ramah.
Trio jomblo menyambutnya dengan antusias dan lebih ramah lagi. Mereka sama
sekali nggak menyangka bisa bertemu dengan aktor terkenal seperti Caraka.
Jangan salah. Caraka merupakan aktor pendatang baru yang sangat
berprestasi. Selain tampan dan aktingnya bagus, do’i juga berbakat di dunia
tarik suara. Lagu-lagunya selalu berada di tingkat teratas tangga lagu nasional.
Film-film yang di bintanginya pun selalu penuh sesak dengan penonton. Bahkan
selalu masuk box office. Sudah
mendapatkan puluhan penghargaan. Hebat, kan, tuh?
Sebagai lelaki, si Caraka dapat dikatakan sempurna. Tampan, mapan, cerdas,
dan ternyata ramahnya luar biasa. Nggak ada gurat kesombongan sedikitpun.
Padahal aktor terkenal, ya? Hebat!
Tapi bagaimanapun juga tiada manusia yang sempurna dimuka bumi ini. Hal
yang menjadi kebiasaan buruk Caraka adalah jarang masuk kelas. Bayangkan aja
sudah tiga bulan perkuliahan berjalan, Si Caraka baru nongol di kampus sekarang, itupun diktat
kuliahnya sempat tertinggal.
“Wah, nggak nyangka kita punya
teman aktor.” Ben meringis. “Gue juga bisa akting, lho!”
“Akting lemes kalau di tagih hutang sama ibu kantin, kan?” Ujar Jodi
sekenanya.
Eeeet daaah si Jodi...
diem-diem do’i kalau ngomong bikin jleb
aja. Ben manyun.
“Yang penting lolos jadi artis.” Ben masih dengan gaya percaya dirinya.
Sesekali memainkan kerah baju.
Mereka pun tertawa. Termasuk Caraka, sang aktor.
Maka anggota pertemanan mereka pun bertambah. Pertemanan dengan empat
karakter manusia yang berbeda-beda. Dengan kepala sama hitam, tetapi isi yang
berwarna. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada.
Ada Caraka sang aktor tampan berwajah korea dan gemilang di bidangnya, tapi
suka membolos kuliah. Ada pula Jodi, anak juragan tanah yang miliki target
selesai kuliah tepat waktu dan menikah tepat waktu pula. Sebab, bila Jodi telat
menikah, ada tiga adik perempuannya yang siap demo.
Kemudian Ben, pemuda rantau dari Lampung. Humoris, pede abis, humanis, kritis, lincah dan berwawasan luas.
Dan terakhir, Imam. Sedikit kalem dan serius memang. Tapi kalau sudah usil,
persis seperti teman-temannya. Sedikit melankolis. Buktinya aja Imam masih memendam cinta dalam diamnya
yang entah kini berada dimana. Sofura.
Bersambung.... ke JOMBLO MOVE ON (PART 2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar