JOMBLO MOVE ON (PART 2)

Ini adalah tahun kedua persahabatan mereka. Ternyata walau sudah menginjak tahun kedua, mereka masih setia menyandang predikat jomblo sejati. Kecuali si Caraka.
Caraka bukannya jomblo sejati. Tapi playboy sejati. Tahun ini Caraka sudah berganti pacar sebanyak empat kali. Dan selama mereka berempat berteman, Caraka sudah ganti pacar delapan kali. Sedangkan ketiga temannya masih gigit jari.
Ben memanyunkan bibir elastisnya lima centimeter ke depan. Menengadah ke atas. Sesekali menggaruk-garuk kepalanya dengan pensil sambil duduk santai di kantin. Entah, memikirkan apa.
Imam, Jodi dan Caraka masyuk memperhatikan Ben.
“Udah, hutang sama Ibu nggak usah dipikirin.” Celetuk ibu kantin kampus. Mengantarkan pesanan mie rebus kornet ke meja mereka.
Ben terhenyak.
Jiah! Si Ibu... Runtuk Ben dalam hati.
Imam, Caraka dan Jodi tertawa.
“Hutang lo berapa, sih?” Caraka mengeluarkan dompetnya. Tetapi di cegah oleh Ben.
“Nggak usah.” Ucap Ben cool. “Sahabat sih sahabat, tapi gue nggak mau merepotkan. Please, ini tentang harga diri gue, Caraka.”
“Gue juga cuma tanya, kok.” Caraka terkekeh.
Ben manyun. Jiaaah... Kirain...
“Lo mikirin apa, sih?”
Imam yang sejak tadi penasaran dengan sikap aneh sahabatnya itu nggak tahan untuk bertanya juga. Sebab, berpikir serius hingga memanyunkan bibir lima centimeter itu bukanlah kebiasaan Ben yang periang, cerdik dan banyak akal.
Biasanya kalau Ben sudah memanyunkan bibir sebegitunya berarti memang ada masalah pelik yang sedang melanda.
Telat bayar kost, hutang kepada ibu kantin kampus yang menumpuk, hutang di warteg pengkolan, belum lagi biaya semesteran. Ya, nggak jauh-jauh lah dari urusan seperti itu.
Ben terdiam. Berpikir keras dengan mulut semakin manyun.
“Gue mau ikutan organisasi kampus. Lembaga pers kampus.” Ben tersenyum penuh arti. “Ikut, yuk!”
Imam, Jodi dan Caraka mengernyit. Kemudian menggeleng kompak. “Nggak!”
“Sibuk syuting gue.” Ucap Caraka sesekali menyisir rambut yang ia bawa kemana-mana. Sampai menjelang tidur pun Caraka harus membawa sisir.
“Males, ah.” Timpal Jodi sambil melahap mie rebusnya.
“Kok males sih, Jod?” Ben manyun. “Itung-itung mengisi kekosongan.”
“Bangku kali kosong.” Imam meledek.
“Maksudnya biar kuliah kita berwarna gitu. Nggak cuma jadi kunang-kunang alias kuliah nangkring kuliah nangkring aja. Atau kuda-kuda. Kuliah datang kuliah datang aja. Jadi jomblo yang eksis, bro” 
 “Modus aja. Bilang aja biar lo dapet pacar, kan?” Ledek Jodi.
Yang lainnya ikut mencibir niat Ben.
“Iya, sih.” Ben nyengir kuda “Sedikit.”
Ya, kan...
Semua bersorak. Bener, kan. Tumben-tumbennya Ben mau ikut organisasi. Pasti ada maunya. Ada udang dibalik perkedel. Pasti.
“Eh, tapi nggak gitu juga, kok.” Ben buru-buru meralat. “Maksud gue, senggaknya walaupun jomblo kita masih punya kegiatan lain. Jangan memikirkan nasib jomblo kita terus. Jadi jomblo move on. Move on dari keterpurukan karena di tolak banyak cewek menuju jomblo yang eksis. Nggak gini-gini aja.”
“Kan elo yang ditolak banyak cewek. Gue, kan nggak.” Celetuk Caraka.
Jiaah si Caraka, mentang-mentang laku. Ben manyun.
Imam dan Jodi terdiam. Ikut berpikir. Bener juga, sih. Selama ini mereka nggak memiliki kegiatan apa-apa. Cuma jadi kunang-kunang alias kuliah nangkring kuliah nangkring. Kecuali si Caraka.
“Kita buat kenang-kenangan, yuk. Minimal kita nggak hanya menjadi mahasiswa kunang-kunang aja.” Gagas Ben antusias dan itu menyita fokus ketiga sahabatnya.
“Terutama lo Caraka. Lo emang bukan mahasiswa kunang-kunang, karena lo kuliah sambil kerja, banyak kegiatan. Tapi pernah nggak sih lo berpikir untuk menjalani aktivitas seperti mahasiswa normal lainnya?”
Caraka terdiam. Berpikir.
“Sehari-hari aktivitas lo itu kuliah syuting kuliah syuting. Lo jarang berinteraksi dengan teman-teman kampus. Gue tanya, di kampus ini siapa aja yang lo kenal selain dari Jodi, Imam dan gue yang ganteng ini?” Tanya Ben.
“Ganteng?” Imam dan Jodi protes. Ben berdehem sok cool.
 Caraka menggeleng. “Tapi mereka kenal gue, kok.”
“Yang mereka kenal adalah topeng lo sebagai artis bukan sebagai Caraka apa adanya yang juga mahasiswa biasa dikampus ini.” Tandas Ben.
Caraka berpikir. Benar juga, sih. Selama ini ia memang disibukkan dengan syuting. Berangkat pagi buta, pulang kerumah juga sudah terhitung pagi. Tidur hanya dua jam. Setelah itu mesti ke lokasi syuting di beberapa tempat. Bagaimanapun ia juga manusia biasa, ingin hidup normal seperti manusia lainnya. Ingin berinteraksi secara sosial juga.
“Kita daftar dulu, deh. Kita ikutin kegiatannya selama satu tahun ini. Kalau kalian nggak nyaman, boleh keluar. Kalau nyaman, ya lanjutin. Gimana?” Tanya Ben lagi.
Ketiganya terdiam. Saling berpandangan meminta pendapat satu sama lain.
“Satu tahun kelamaan.” Imam Protes.
“Lalu?” Ben menimpali
“Sepuluh bulan?” Jodi mengusulkan
“Mmmmm.... Nanggung banget.” Ben tampak berpikir.
“Satu semester aja.” Caraka menengahi. “Case closed.”
Oke.”

ààà

Pertualangan tahun kedua pun di mulai. Keempat sekawan tersebut dengan gagah berani mendatangi sekretariat lembaga pers kampus. Menyatakan diri ingin mendaftar menjadi anggota lembaga pers mahasiswa.
Untunglah senior mereka di lembaga pers mahasiswa welcome banget. Nggak membedakan peserta. Buktinya aja Caraka diperlakukan sama seperti mahasiswa lainnya. Nggak diistimewakan. Mau dia penyanyi terkenal, kek. Aktor ternama, kek. Anak orang kaya, kek. Dan juga kakek-kakek, nggak ada pembedaan peserta. Semua sama rata.
“Kalian berempat bersahabat, ya?” Tanya Pemimpin redaksi lembaga pers mahasiswa BTI. Di sela-sela acara perkenalan anggota baru. Namanya Bang Irwan. Orangnya kharismatik banget. Tampak jelas kalau Bang Irwan orang yang cerdas dan memilliki pengetahuan luas.
Imam, Jodi, Caraka dan Ben mengangguk kompak. Hari itu mereka anteng banget. Namanya juga anggota baru. Hehe..
Eh, tapi tumben lho, si Ben nggak berulah. Ben taat dengan peraturan yang berlaku kala itu.
Bang Irwan disela-sela pemberian kata sambutan menyampaikan bahwa organisasi ibarat tubuh. Dan anggota-anggota didalamnya diibaratkan dengan anggota tubuh. Apabila satu merasa sakit maka semua mestilah merasa sakit. Agar organisasi ini dapat terus eksis dan berjalan sehat, maka anggota-anggotanya pun harus saling solid dan bekerja sama.
Semua anggota baru memperhatikan dengan seksama. Nggak terkecuali dengan Imam, Jodi, Caraka dan Ben. Mereka malah sampai nyureng segala.
Sebagai salah satu syarat penerimaan anggota baru, mereka berempat harus mengikuti berbagai macam pelatihan jurnalistik dan puncaknya harus mengikuti latihan dasar kepemimpinan di daerah Puncak, Bogor.
Dan selama mengikuti tahapan seleksi seperti itu, semua peserta akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Supaya saling mengenal satu sama lain dan masing-masing peserta dapat terorganisir dengan baik.
Pembagian kelompok pun dimulai. Salah satu kakak panitia mengambil sebuah gelas yang berisi nama-nama peserta. Siap untuk dikocok ala arisan ibu-ibu RT.
Deg-deg-an euy...
Ben cengar-cengir sendiri. “Semoga kita berempat berjodoh lagi, ya?”
Ketiga teman Ben –Imam, Jodi dan Caraka- begidik. Emangnya mereka cowok apaan. Hiiiy...
“Ogah!” Jodi yang paling keras protesnya.
“Emangnya gue cowok apaan?” Caraka melentikkan jarinya. Kali ini Ben yang begidik. Ngeriii..
“Sssst..” Imam geleng-geleng.
Beberapa kelompok sudah terbentuk. Nama Imam, Jodi, Caraka dan Ben belum muncul juga. Alhasil, mereka semakin deg-deg-an.
“Sudah terbagi kan kelompoknya?” Bang Irwan kembali mengambil alih. Imam, Jodi, Caraka dan Ben kalang kabut. Sebab, masih ada delapan orang yang belum mendapatkan kelompok. Termasuk mereka berempat.
 “Belum, Bang.”
“Belum?” Dahi Bang Irwan mengernyit. Kemudian salah satu panitia ada yang membisikki Bang Irwan. Memberi tahu bahwa masih ada nama yang tersisa di dalam gelas. Dan ternyata ketika dikocok, nama mereka berempat keluar secara bersamaan. Kemudian ketika dikocok ulang bersama dengan peserta yang lain nama mereka berempat kembali menjadi satu kelompok. Begitu berulang sampai tiga kali.
“Imam, Jodi, Caraka dan Ben satu kelompok.” Panitia mengumumkan lantang.
Keempatnya bersorak. Yeah! Emang kalau jodoh nggak kemana, kan?
Usai pembagian kelompok, tiap kelompok diberikan waktu untuk menentukan nama kelompoknya masing-masing. Tiap kelompok diwajibkan memiliki sebuah nama. Yang nantinya akan menjadi identitas mereka selama masa pelatihan
Berundinglah empat sekawan tersebut. Di sudut ruangan. Dengan wajah yang tampak berpikir keras.
“Superman?” Usul Ben.
“Emang kita superhero?” Jodi nggak setuju.
“Kagure?” Imam antusias. Nama kagure diambil dari nama sebuah desa di salah satu anime kegemarannya. Maklum, Imam itu penggemar anime banget. Kalau sedang libur dan ada dirumah, Imam sanggup menonton anime seharian penuh. Tanpa makan, tanpa mandi. Hiiiy...
“Nggak semua suka Jepang, Mam. Itu aja... mmmm... kelompok si Pitung.” Usul Jodi.
“Nggak semua orang betawi, Jod...” Kali ini Imam yang protes. Keki.
“Gimana kalau pakai salah satu judul album atau film gue yang teranyar. Itung-itung bantu promosi.” Caraka tersenyum penuh arti.
“Ketika cinta menyapa?” Caraka mulai mengusulkan judul album dan filmnya.
Imam, Jodi dan Ben nyureng.
 “Atau rembulan dimatamu?”
Imam, Jodi dan Ben nginyem.
“Atau... cinta kita berdua?”
Imam, Jodi dan Ben garuk-garuk kepala.
“Atau... Assalamu’alaikum Cinta.”
Imam, Jodi, Ben manyun.
“Atau... ada senyum diwajahmu. Atau mahligai cinta... Atau naungan cinta. Atau...”
“STOP!” Potong Imam, Jodi dan Ben kompak. “Stop Caraka. Please.” Ketiganya memasang wajah memelas.
“Nggak oke, ya?”  Caraka nyengir. Garuk-garuk kepala.
Ya, iyalah. Itu kelompok pelatihan atau judul telenovela. Cinta semua judulnya. Huft!
“Atau gini...” Caraka kembali bicara.
“STOP! Nggak!” Imam, Jodi dan Ben menolak kompak. Nggak ada toleransi lagi, sekalian aja mereka bentuk boyband terus nyanyi lagu-lagu melankolis, deh. Tapi mau membentuk boyband juga agak sulit sepertinya. Lha wong wajah yang cocok jadi boyband cuma Caraka. Heheh.
Setelah melalui diskusi panjang. Sementara waktu terus berjalan. Panitia pun sudah memberikan peringatan tenggang waktu, akhirnya keempat sahabat tersebut kembali berpikir keras. Dengan gaya masing-masing. Ada yang manyun, memonyongkan bibir, garuk-garuk kepala, entah itu berpikir atau lupa keramas. Lalu, ada pula yang memukul pulpen, ada yang berpikir sambil menyisir rambut seperti aktor ganteng kita, Caraka. Pokoknya macam-macam deh gayanya.
Tik,tok,tik,tok,tik,tok....
Bunyi jarum jam di dinding terdengar nyaring.
Tik,tok,tik,tok,tik,tok...
Seisi ruangan hening.
Hingga sejurus kemudian.
“Ijo Cabe!” Ben spontan. 
Imam, Jodi dan Caraka ngurut dada. Spontan sih spontan, reflek sih reflek, tapi kan nggak mesti bikin orang kaget, Ben...
“Imam.” Ben menunjuk teman-temannya berurutan. “Jodi, Caraka, dan Ben.”
Ben sumringah. Sedangkan Imam, Jodi dan Caraka masih nggak mengerti.
“Oke, kan...?” Ben menyeringai. Meminta kepastian. “Ijo Cabe singkatan dari Imam, Jodi, Caraka, Ben.”
“Keren!” Jawab Imam juga sumringah. Jodi dan Caraka pun sumringah.
Ijo Cabe bersorak gembira. “IJO CABE, YEAH!”


Bersambung....


1 komentar

  1. selalu tertawa dan menjadi inspirasi setelah membaca novel ini.banyak pelajaran dan hikmah dan sebagian juga pengalaman yang sering di alami pembaca.
    sukses terus dalam berkarya mencerdaskan anak bangsa ^_^

    BalasHapus

 

TWITTER SAYA

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.