Di Masjid Sekolah

Di Masjid Sekolah
Betul – betul menjadi saksi, di sanalah kami dilahirkan.
Ya! di sana kami merasa lahir kembali bersama tarbiyah illahi.
Meski dulu, kami belum memahami betul indahnya saat-saat itu.
tapi kini ruh ini betul-betul merindu.

Di Masjid Sekolah
Setiap pagi sebelum bel berbunyi
Ada saja kawan-kawan di sana, serasa rumah sendiri
Pagi-pagi sudah kerja bakti hingga menjemur karpet di lapangan sekolah, walau masih pagi.
Ya! Minimal bertemu saudara-saudara sambil bertanya kabar masing-masing

Di Masjid Sekolah
Bel istirahat berbunyi, lagi-lagi terasa rumah sendiri
Berbondong-berbondong shalat Dhuha bersama.
Ajak teman – teman kelas untuk shalat bersama
Meski tak sedikit yang diajak melarikan diri ke kantin, Duhai lucunya!

Di Masjid Sekolah
Bel Istirahat kedua berbunyi, lagi-lagi bagai rumah sendiri
Berbondong-bondong shalat Zhuhur berjamaah
Kali ini teman – teman kelas menurut juga
Sebab, bila tak shalat jamaah di catat guru agama

Di Masjid Sekolah
Bel pulang berbunyi, lagi-lagi bagai rumah sendiri
Bukan langsung pulang ke rumah, berbondong-bondong kumpul di masjid sekolah
Menanyakan kabar sahabat, atau agenda tiap hari Jum’at
Duhai indahnya ukhuwah!

Di Masjid Sekolah
Betul-betul menjadi saksi
Ketika mendengar seorang ukhti menangis, sebab mempertahankan jilbabnya
Pula perkara-perkara keluarga atau yang lainnya
Tak jarang pula tentang akademik atau amanah organisasi lainnya.

Di Masjid Sekolah
Tiap hari Jum’at siap-siap bawa alat tulis dan Al-Qur’an
Latihan dulu bersama, sebelum berbicara di depan banyak orang
Pengajian kelas…. Ceramah Jum’at Keputrian…. Mentoring…. Khatib Jum’at
Ah, yang paling lucu ketika senandung nasyid dadakan berdendang, Duhai falesnya!

Di Masjid Sekolah
Akhir pekan duduk melingkar
Kita mulai mengenal makna syahadat, cinta rasul, berbakti kepada orang tua, guru dan lainnya
Saling doa dan menasihati, walau terkadang amat menyakitkan
Tak jarang tukar kado sebagai tanda persaudaraan.

Di Masjid Sekolah
Menjadi saksi bahwa di sanalah kami dilahirkan, rahim tarbiyah bermula
Kita berani bermimpi dan berprestasi karena-NYA.
Menjadi pribadi lebih baik, walau tak jarang banyak orang mencibir
Namun percayalah, semua itu membuat kita saling berlomba menuju ridha-NYA


READ MORE - Di Masjid Sekolah

Raja Jalanan

Bus maut itu melaju kencang. Lincah melesat mendahului kawanan lainnya. Tak peduli nyawa-nyawa yang meronta dan menjerit ketakutan, yang Kasmin tahu dia harus membawa uang setoran yang melimpah. Jika tidak, ia harus mendapat petaka di atas petaka. Di marahi oleh bos pemilik kendaraan, gigit jari karena tak ada uang, di omeli habis-habisan oleh pemilik kontrakan sebab telat membayar kontrakan rumah, utangnya yang menggunung pada ibu warteg pangkalan. Belum lagi sang istri dan mertua yang terus menelepon minta kiriman uang untuk biaya sekolah ketiga anaknya yang masih kecil dan biaya hidup di kampung.

Sudah enam bulan ini Kasmin mengadu nasib di Jakarta. Pekerjaannya sebagai petani bawang di Brebes tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Belum lagi biaya sekolah ketiga anaknya. Setidaknya, hidup di Jakarta, ia memiliki penghasilan yang cukup baik, walaupun pengeluaran kebutuhan hidup pun sama dahsyatnya.

Ia masih ingat betul bagaimana awal-awal ia merantau di Jakarta, mencoba mencari kerja di Jakarta tak semudah yang ia bayangkan. Mulai dari menjadi tukang gali kabel listrik, karena tak becus bekerja ia tak dapat jatah kembali, kemudian pedagang asongan, hingga pengamen jalanan. Semuanya tak membuahkan hasil, hanya membuahkan utang.

Beruntung Kasmin mudah bergaul dengan siapa saja. Ia ditawari oleh seorang teman untuk menjadi supir tembak. Tak butuh syarat apapun, yang penting mampu mengendarai bus dan bermental baja. Jika ramai penumpang, penghasilannya lumayan banyak. Jika sepi resikonya mesti gigit jari. Seperti saat ini.
Untuk menjadi supir tembak harus pandai-pandai melobi sang juragan pemilik bus, minimal pandai melobi rekan sejawatnya sesama supir tembak. Sebab dalam sehari, satu buah bus untuk jatah sekitar enam orang supir tembak. Masing-masing mendapat jatah empat jam untuk dua putaran. Dengan jatah setoran lima puluh ribu untuk empat jam.

Belum untuk biaya bahan bakar yang harus diisi sendiri. Beruntung bila bahan bakar sudah terisi oleh yang lain. Bila belum, Kasmin harus rela mengeluarkan uang minimal dua puluh ribu untuk mengisi bahan bakar. Walaupun tidak mesti setiap hari.

Jika dalam empat jam Kasmin hanya mendapat seratus ribu, berarti sisa uang di tangan Kasmin hanyalah tiga puluh ribu, itu masih harus dibagi dua dengan sang kenek. Jadi Kasmin hanya mendapat lima belas ribu saja. Untuk makan di warteg, untuk membayar sewa rumah akhir bulan, untuk mengirim uang di kampung tiap akhir pekan. Bersyukur kalau Kasmin bisa mendapatkan lebih. Kalau tidak? Ia tinggal gigit jari.

Menjadi supir tembak kadang tak semudah yang dibayangkan. Ada waktu-waktu tertentu yang mesti di rebutkan. Misalkan saja waktu orang-orang berangkat kerja, berkisar dari pukul tujuh sampai dengan pukul sembilan. Di atas pukul sembilan, biasanya penumpang agak sepi. Akan ramai kembali saat orang-orang pulang kerja. Mulai pukul empat sore hingga pukul tujuh malam. Di atas itu penumpang tak begitu jubel, hanya kemacetan kota Jakarta yang Kasmin dapat.

Apalagi dewasa ini, masyarakat ibukota telah beralih ke angkutan lain seperti transjakarta dan sepeda motor. Bayangkan saja, setiap hari jalanan makin dipenuhi pengendara motor. Sedangkan angkutan-angkutan umum jadi sepi penumpang.

Jadi semua salah siapa? Sistem? Atau dealer motor yang mudah memberikan kredit motor murah bagi masyarakat? Atau pemerintah yang tak mengawasi pajak kendaraan bermotor? Embuh! Kasmin tak mau ambil pusing, yang penting perutnya yang sudah keroncongan sedari tadi segera terisi.
Mereka menyebutnya waktu emas. Supir yang mendapatkan jatah pada waktu-waktu tersebut akan panen penumpang. Sementara yang mendapatkan waktu lain harus kuat-kuat menekan pedal gas. Merebutkan penumpang.

Lampu lalu lintas merubah menjadi merah nyala, pertanda semua kendaraan mesti berhenti sejenak. Kasmin mengelap seluruh peluhnya yang mengucur deras. Pengap dan Panas menyengat. Ah, Jakarta memang kota yang panas menyengat, berpolusi dan pengap. Di depan bus nya, sudah ada ratusan kendaraan roda dua yang siap menyerbu jalanan begitu lampu lalu lintas berwarna hijau.

Asap knalpot tiap-tiap kendaraan makin tebal di udara. Bukan main pengapnya. Pantas saja jika pengendara kendaraan itu rentan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas. Belum lagi asap rokok yang mengepul di tiap sudut jalan raya.

Kasmin mengelap lagi peluhnya dengan handuk warna biru usang yang melingkar di leher. Sambil sesekali melihat kaca spion. Di sana ada dua bus berada di belakang bus Kasmin, siap adu nyali.
Brum…! Brum…! Brum…!
Kasmin makin kencang menekan pedal gas, bersiap-siap adu nyali dan adu kecepatan, mempertaruhkan predikat raja jalanan.

Di pintu belakang bus, sang kenek terus berteriak-teriak menjajakan bus tuanya.
“Minggu, Minggu, Minggu.”
“Udah penuh, bang!” Protes penumpang di dalam bus.

Ada-ada saja memang kenek bus terkadang, bus sudah penuh sesak masih saja ditawarkan ke orang-orang. Terkadang ada unsur berbohong di sana. Sering mengatakan bahwa masih ada tempat duduk yang kosong. Padahal penumpang yang berjubel terlihat sebenar-benarnya.
Sang kenek acuh. Seperti Biasa.

Brum….! Brum…! Brum….!

Lampu kuning menyala. Kasmin semakin menekan kuat-kuat pedal gas. Matanya bukan lagi raja jalanan. Entah, sebab faktor ekonomi ia menghalalkan segala cara, mengubah raja jalanan itu menjadi setan jalanan.

Bruummmm…..!

Begitu lampu hijau, Kasmin dan rekan sejawatnya mengubah jalanan umum kapten tendean seperti arena balap liar. Menganggap pengguna jalan yang lain hanyalah kerikil-kerikil tak guna yang mesti disingkirkan. 

Menganggap penumpang di jalanan layaknya karung beras. Bahkan karung beras saja pun masih ada harganya, di bawa sebaik-baiknya, agar dapat terdistribusi dengan baik ke perut-perut yang lapar.

“Yihaaaaaa……!” Sang kenek bus berteriak seperti kesetanan. “Taaarriikkkkk….!”

Sebagian penumpang tampak berdzikir, walau hanya bentuk gerakan bibir. Yang lainnya ada yang kuat-kuat memegang kursi atau apapun. Sebagian masih sibuk mendengar musik via ponsel. Sebagian lagi menjerit-jerit ketakutan. Meminta pengampunan sang supir yang siap mengeksekusi.

“Hati-hati, bang, banyak anak kecil.”
“Memang kita karung beras?”
“Astaghfirullah…! Astaghfirullah…! Astaghfirullah…!”

Mendengar jeritan para penumpang Kasmin tetap tak bergeming, yang ia tahu, penumpang harus bertambah, agar bertambah pula penghasilan. Terpenuhinya setoran.

Bus Kasmin saling beradu kecepatan dengan bus di sampingnya. Terkadang bus Kasmin yang di belakang, terkadang pada posisi terdepan, terkadang pula saling adu samping. Benar-benar raja jalanan. Tak peduli dengan pengguna jalan lainnya.

Dahsyatnya, pamor Kasmin dan kawan-kawannya mampu mengalahkan pamor pengaman presiden ketika lewat di jalanan, yang selama ini begitu ditakuti masyarakat.

“Bus sialan!” Seru pengendara motor roda dua yang hampir saja ditabrak oleh Kasmin. “Ingin mati, ya!?!”
Kasmin sudah terbiasa mendapatkan sumpah serapah dari pengguna jalan lainnya, terlebih dari pengendara motor beroda dua dan pejalan kaki yang selalu hampir ia tabrak. Bukan main seramnya sumpah serapah yang terlontar. Dan yang paling seram adalah sumpah serapah kematian.

Beginilah nasib supir tembak, harus mencari nafkah berlomba dengan kecepatan waktu. Ia tak bisa leluasa menjajakan jasa busnya seharian penuh, sebab ada perut-perut lapar lainnya yang sedang menunggu bus tua sewaannya. Dalam sehari, minimal ia harus bergantian dengan lima supir tembak lainnya.

Begitulah Kasmin selalu membela diri untuk menghalalkan segala perbuatannya. Ia tak peduli dengan pengguna jalan yang celaka, yang penting keluarganya di kampung dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Kasmin dan sang kenek meringis. Melanjutkan uji nyalinya. Ia sudah tertinggal jauh dengan bus saingannya. Ia tak mau melewatkan kesempatan. Jangan sampai ia kehabisan penumpang.

“Bruuuuuuummmm……”

Kasmin dan sang kenek makin kesetanan. Apalagi setelah penumpang satu per satu turun, membuat busnya makin lengang. Makin beringas pula Kasmin.

“Tabrak….! Hajar terus….! Hajar terus….!” Seru sang kenek membuat Kasmin memanas. Semua kendaraan berhasil dilewatinya dengan lincah. Membuat motor-motor roda dua pun takut bukan kepalang, dan lebih memilih untuk meminggirkan kendaraan, atau sebisa mungkin menjauh dari bus Kasmin yang sedang mengamuk tak karuan.

Berbagai sumpah serapah dan makian para penumpang yang ketakutan, sama sekali tak dihiraukan Kasmin.
“Astaghfirullah…!” Semua penumpang menjerit.
Semua penumpang terjungkal, sebab bus Kasmin yang mengamuk berhenti tiba-tiba.

“Sial!” Runtuk Kasmin.

“Kita nyerempet pejalan kaki, bang!” Sang kenek ketakutan “Ibu dan anak. Parah sepertinya, Bang.”

Belum sempat Kasmin berpikir, para penumpang berhamburan turun. Secepat kilat massa sudah mengepung busnya. Siap menghancurkan bus tuanya dengan batu-batu besar di kepalan tangan. Tak sedikit pula membawa batang-batang kayu yang tak kalah seramnya. Massa kali itu amat menyeramkan. Seperti siap menelan bulat-bulat Kasmin dan sang kenek.

“Turun, lo!” Semua massa berebut ingin menyantap Kasmin dan sang kenek.

Kasmin seakan melihat pintu kematian dihadapannya. Haruskah ia berakhir seperti ini. Mati diamuk massa yang beringas. Bagaimana dengan utang-utangnya? Ketiga anaknya yang masih memerlukan biaya sekolah? Istri dan mertuanya di kampung?

“Ampuuuun bang…. Ampuuun bang….” Rintih sang kenek kesakitan. Diamuk massa hingga babak belur.
Kasmin sendiri, kabur!
lll
Hosh…! Hosh….! Hosh….!

Nafas Kasmin tersengal. Kejadian tadi betul-betul menyeramkan. Ia harus bertindak cepat, setidaknya untuk saat ini ia harus lepas dulu dari amukan massa. Ia tak ingin mati konyol di tangan massa yang sedang geram.
Mematikan ponsel. Jangan pulang ke kontrakan, tetapi langsung ke terminal bus dan pulang ke Brebes. Ya! Pulang ke Brebes. Pikir Kasmin cemas.

Kasmin membenarkan semua niatnya. Dengan uang setoran yang masih Kasmin pegang, Kasmin pulang ke Brebes dengan menaiki bus antar kota antar provinsi. Sepanjang perjalanan Kasmin merasakan rindu yang teramat pada keluarga. Penyesalan itu mulai datang. Ya! Kasmin sadar akan kesalahan fatalnya. Tak pernah terfikirkan sebelumnya di benak kasmin bahwa ia akan menjadi seorang pembunuh, walau itu bentuk dari ketidak sengajaan, tetapi tetap saja ia sudah menghilangkan nyawa orang lain.

Kasmin sebenarnya sudah pasrah, jikalau memang ia harus masuk penjara. Setidaknya ia memiliki kesempatan bertemu dan berpamitan dengan keluarga tercinta.

Esok harinya, begitu Kasmin sudah sampai di muka halaman rumah mertua, halaman rumah mertua tampak penuh sesak dengan warga sekampung.

Kasmin jadi ragu melangkah .Jangan-jangan kabar tabrak larinya di Jakarta sudah sampai di kampung?
Dengan sisa-sisa keberanian yang ia kumpulkan, Kasmin melanjutkan langkahnya. Begitu sampai, semua warga memeluknya iba. Pasti mereka ingin menghibur musibah yang menimpanya.

Sementara itu di dalam rumah, mertua dan kedua anak terkecil Kasmin yang ditemani oleh warga, sedang menangis meraung-meraung. Kasmin semakin heran. Matanya terus mencari melihat ke sekeliling. Ia baru sadar, sedari tadi tidak ada sang istri, di manapun.

“Ada apa, bu?”
“Sabar, Min.” Hibur seorang warga sambil menepuk pundak Kasmin.
Bojomu… Bojomu karo anakmu sing barep….” Ibu mertua Kasmin sesenggukan.

Belum sempat Kasmin melanjutkan keheranannya. Rombongan ambulan datang dan polisi datang.
Semua berhamburan keluar rumah. Menuju halaman. Kasmin sangat terpukul begitu melihat sang istri dan anak lelakinya yang pertama dikeluarkan dari mobil ambulan dalam keadaan terbujur kaku dan terbungkus kain kafan.

“Ada apa ini sebenarnya? Kenapa bisa begini?” Air mata Kasmin mulai mengucur deras.

“Cahyo, anakmu, minggu kemarin pembagian rapot. Ia minta diantarkan berlibur ke Jakarta, katanya rindu dengan bapaknya. Baru lusa kemarin istrimu dan Cahyo pergi ke Jakarta, katanya ingin membuat kejutan, tetapi malah kami yang terkejut.”  Ayah mertua menjelaskan panjang lebar. “Semalam kami mendapatkan kabar dari bapak polisi, kalau istri dan anakmu menjadi korban tabrak lari. Ditabrak oleh bus yang sedang mengamuk. Kenek bisnya tewas dihajar massa, sedangkan supirnya sendiri melarikan diri entah ke mana. Belum terlacak, karena dia supir tembak.”

Bagai tersambar halilintar di siang bolong, Kasmin terduduk lemas. Mana mungkin… mana mungkin…
Kemudian bapak polisi menyebutkan plat nomor bus maut itu. Plat nomor yang tak asing lagi di telinga Kasmin.
“Cahyooo…. Sutiii….!!!” Tangis Kasmin meledak.

READ MORE - Raja Jalanan

One Day One Ayat

Tulisan ini terinspirasi dari para hafiz-hafiz cilik kita. Ini terjadi beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat hari test tahsinul Qur’an di suatu lembaga rumah Al-Qur’an yang berada di daerah Bangka Jakarta Selatan.

Pagi itu sengaja aku dan salah satu seorang kawanku datang lebih awal daripada waktu test masuk rumah Al-Qur’an yang ditentukan oleh panitia sebelumnya. Kupikir kami lah peserta yang datang paling awal atau setidaknya baru ada beberapa peserta saja. Namun, subhanallah… begitu kami melangkahkan kaki memasuki halaman Rumah Al-Qur’an tersebut, peserta sudah mengantri panjang. Dan akhirnya panitia pun membuka registrasi lebih awal. Yang membuatku terpana adalah peserta yang ada bukan hanya dari kalangan mahasiswa maupun usia produktif saja, tetapi banyak di antara mereka adalah anak-anak. Bahkan ada juga yang masih balita. Begitu takjubnya aku waktu itu (maklum… baru pertama ikut kegiatan seperti ini hehe…)

Untuk dapat belajar membaca Al-Qur’an di Lembaga Rumah Al-Qur’an tersebut, memang diadakan test terlebih dahulu. Biasanya itu dilakukan untuk menentukan kelas sesuai dengan kemampuan membaca Al-Qur’an kita.

Test pun dimulai. Para peserta di bagi ke dalam kelompok-kelompok berbentuk lingkaran dan di murabbi kan oleh seorang ustadz. Satu per satu peserta ditanya motivasi untuk mengikuti kegiatan seperti ini, juga pertanyaan ‘sudah hafal berapa juz’, ‘berapa kali membaca Al-Qur’an dalam sehari’, ‘sudah berapa kali khatam’. Aku tercengang mendengar jawaban dari teman-teman peserta kelompok ku. Selain mereka mayoritas berasal dari universitas-universitas ternama di Jakarta mereka juga sudah banyak yang hafal Al-Qur’an. Ada yang hafal 7 juz. Ada yang hafal 8 juz. Bahkan lebih. Juga ada peserta dari kelompok lain yang ketika ia muraja’ah hafalannya lancar dan terdengar seperti Ahmad Saud. Baik dari nada, tartil dan tajwidnya. Subhanallah… sungguh indah bacaan para calon bidadari itu, menyejukkan dan menenangkan jiwa.

“Yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

“Sesungguhnya, Al-Qur’an ini diturunkan dengan syahdu, maka apabila kamu membacanya berusahalah untuk syahdu.” (HR. Abu Ya’la dan Abu Nu’aim)

Aku tercengang bukan main. Hatiku sedikit tersentil dengan apa yang aku lihat di sekitarku waktu itu. Usiaku sama dengan mereka. Namun percepatanku sungguh tertinggal. Mereka sudah hafal ber juz-juz al-Qur’an. Sementara aku? Jangankan 1 juz Al-Qur’an, Juz Amma pun masih bolong-bolong. Aku memang bukanlah berasal dari keluarga kyai atau lulusan pesantren, bukan pula lulusan dari sekolah Islam maupun universitas Islam. Namun itu sungguh bukanlah alasan untukku menunda-nunda percepatan kebaikan ini.

Memang benar dengan apa yang dikatakan oleh DR Fathi Yakan, dalam bukunya yang berjudul ‘Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?’ bahwa menjadi muslim yang baik tidak cukup dengan hanya mengandalkan faktor keturunan, identitas maupun penampilan luar, tidak cukup pula hanya sekadar tahu ilmunya tanpa ada aplikasi atau amal di sana. Untuk menjadi muslim yang sejati kita harus memilih, berkomitmen dan berinteraksi dengan Islam dalam segenap aspek kehidupan.

Pengumuman kelulusan test masuk Rumah Al-Qur’an beberapa hari kemudian, Alhamdulillah seperti ada embun penyejuk yang masuk ke dalam jiwa, aku lulus. Rasa senang karena lulus test baca Al-Qur’an sangatlah berbeda. Ia seperti embun penyejuk di antara dahaganya ruh.

Minggu selanjutnya adalah tahsin perdana, di dalam agenda tersebut ada acara wisuda hafiz. Kupikir peserta wisuda adalah kalangan mahasiswa atau orang dewasa. Namun, ternyata mereka bukanlah para mahasiswa. Bukan pula para orang dewasa. Mereka adalah para hafiz kecil. Usia mereka antara 5 sampai 9 tahun. Tidak tanggung-tanggung, yang mereka baca bukanlah juz 30 atau juz ‘amma, para hafiz cilik itu membaca surat Ath-Thur juz ke 27.

Gerimis hati ini mendengar para hafiz cilik itu melantunkan ayat demi ayat Al-Qur’an dengan polos dan lancarnya tanpa membuka mushaf Al-Qur’an. Teman-teman di sekitarku tampak sudah khusyuk mendengarkan dengan mushafnya. Ada juga yang mengikuti bacaan para hafiz cilik tanpa membuka mushafnya. Sementara aku masih sibuk mencari halaman demi halaman. Surat apa lalu ayat berapa. Di halaman mana. Malu rasanya diri ini. Terlebih kepada para hafiz cilik itu.

Usia mereka sangat jauh lebih muda, namun prestasi yang mereka capai amatlah luar biasa dan hebat. Lebih hebat dari prestasi matematika. Lebih hebat dari prestasi bahasa inggris. Lebih hebat dari prestasi informatika dan teknologi. Lebih hebat dari prestasi karir yang gemilang. Lebih hebat dari prestasi sebuah jabatan di dunia.

Sungguh malu dan pilu rasanya diri ini. Merasa selama ini tengah tertidur. Mungkin di saat diri ini sedang bermalas-malasan atau berhalangan untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an, dalam waktu yang bersamaan mereka para hafiz cilik itu tengah sibuk membaca dan menghafal Al-Qur’an. Satu ayat demi satu ayat. Mereka sedikit tidur, sedikit bermain hanya untuk membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Saudaraku, sudahkah kita mencoba untuk menghafal Al-Qur’an? Berapa juz yang sudah kita hafal? Berapa ayat yang sudah coba kita hafal dan amalkan? Ya, begitulah pertanyaan yang selalu mengusik hatiku. Entah, kapan aku bisa mengejar ketinggalan ini. Kapan aku bisa seperti para hafiz cilik itu. Berapa berat sudah amal yang akan ku bawa di yaumil hisab nanti? Kapan Malaikat maut akan bertandang? Seberapa cepat percepatan ku dengan malaikat maut, karena kematian itu pasti dan kita tak akan pernah bisa menebak kapan ia datang.

Masih ingatkan kita dengan kejadian awal tahun 2009? Saat itu adalah saat para media puncak-puncaknya meliput peperangan di Palestina. Pernah suatu ketika tertangkap sebuah gambar para mujahid Palestina yang masih saja membaca Al-Qur’an, walaupun dalam posisi berdiri, duduk maupun memegang senjata.

Dan ketahuilah saudaraku, bahwasanya banyak beribu-ribu anak di Palestina di tengah keadaan peperangan mencekam yang sudah hafal Al-Qur’an. Padahal usia mereka sangat jauh lebih muda daripada kita.

Mulai sekarang mari kita bersama membaca dan menghafal Al-Qur’an. Semampu yang kita bisa. Semaksimal mungkin kemampuan dan usaha yang kita bisa. Jika merasa berat untuk menghafal Al-Qur’an langsung 30 juz, kita bisa mencobanya dari juz 30 atau juz amma. Kita mulai dari menghafal surat-surat pendek. Jika kita masih merasa berat lagi karena kesibukan dunia kita, kita bisa menghafal dengan target 5 ayat untuk 1 hari, paling tidak luangkanlah waktu 5 menit setelah shalat lima waktu untuk menghafal satu ayat.

Namun, apabila masih terasa berat dan belum sanggup, kita bisa menghafal 1 ayat untuk 1 hari. One day One Ayat to save our life. Secara continue atau berkesinambungan. Dalam menghafal yang terutama dan paling penting adalah Niat atau keinginan. Mau menghafal Al-Qur’an. Jika ada keinginan yang kuat, insya Allah kemudahan yang akan kita dapat. Tetapi di samping itu tidak cukup dengan hanya mengandalkan niat saja, perlu adanya aksi menuju ke sana.

Menghafal Al-Qur’an bukan hanya untuk golongan maupun kalangan tertentu saja, bukan pula hanya untuk aktivis penyiar Islam saja. Selama kita adalah seorang muslim kita semua BISA menghafal Al-Qur’an, tanpa terkecuali.

“Dia (Allah) telah menamai kamu orang-orang muslim sejak dahulu dan begitu pula dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas seluruh manusia…” (Al-Hajj: 78)

“Engkau harus membaca Al-Qur’an, karena sesungguhnya, Al-Qur’an menjadi cahaya yang menerangimu di bumi dan pundi pahala di akhirat.” (HR. Ibnu Hibban)

Berhubung kita sudah memasuki bulan Ramadhan di mana pada bulan itu Allah Swt memberikan naungan-Nya serta para Malaikat berbangga dan mengamini doa kita, Mari kita masukkan ini ke dalam agenda Ramadhan mulia ini. 30 hari kita fokuskan diri ini untuk menghafal Al-Qur’an. Lalu kita lanjutkan setelahnya. Man jadda wa jadda…

Sungguh tulisan ini adalah introspeksi bagi diri saya sendiri. Terima kasih bagi para hafiz cilik generasi penerus agama dan bangsa yang menginspirasi. Semoga kita selalu di beri kemudahan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk mencapai Ridha-Nya. Semaksimal mungkin kemampuan yang kita bisa. Allahu’alam….



READ MORE - One Day One Ayat

Rohingya Kaum Yang Terluka

Baik kuceritakan sebuah negeri
Nan indah lagi elok mata memandang
Bagaikan mutiara yang terpendam
Hamparannya luas umpama zamrud khatulistiwa
Tak kalah indah dengan bumi kita indonesia
Myanmar namanya…

Di sudut bumi Myanmar…
Ada suatu kaum yang terluka
Menangis… merintih… sayat nanar berdarah
Terjajah pada sebuah hamparan
Terasing pada keramaian kebrutalan
Terusir dari tempat lahir dan mati

Dunia menyebutnya kaum rohingya…
Berasal dari Arakan
Suatu kerajaan penyebar agama rahmat semesta alam sebelum Burma didirikan
Ya! berada sebelum Burma didirikan…
Kaum Rohingya yang terluka…
Miskin di antara berlian tanah kelahiran

Satu per satu nyawa dibabat habis
Bukan barang sehari dua hari
Bertahun bahkan berabad
Anak, lansia, dewasa dibantai, ditembak, ditawan pula dibakar
Digorok dan tak seronok
Entah apa musababnya
Mungkin karena aqidah yang dicinta

Rohingya… kaum yang tertindas
Dibantai oleh militer junta
Disiksa lagi tak berperasa
Menjerit nestapa pada dunia
Berlari, terkatung, berjelajah benua samudra
Demi selamatnya nyawa dan aqidah

Lihatlah…
Benua ini dipenuhi dengan bendera yang berkibar-kibar
Semua berkoar-koar
Inilah hak asasi dan kemanusiaan
Mengaku cinta perdamaian…
Tapi kalah dengan lebah!
Yang senantiasa menjaga saudaranya tanpa kenal lelah

Wahai dunia belalakkan mata
Tidakkah kau lihat tangisan darah kemanusiaan
Buka telinga, kepala dan dada
Jerit kemanusiaan menyayat jiwa
Ratusan ribu nyawa telah hilang
Tapi kau bungkam bagai pecundang

Ah… pastilah semua merindu kedamaian!
Yang merasuk ke dada lewat kepala
Tak ada yang mengajarkan kekerasan pula penindasan
Kecuali hati yang telah mati
Atau telinga yang telah tuli

Aku malu… pada kawanan lebah yang saling menjaga
Berkorban memberi sepenuh hati
Aku malu… pada seonggok manusia di negeri Palestina sana
Di tengah derita masih sergap ikhlas berbagi
Lalu… biarlah kita bertanya… mencari pada nurani
Untuk muslim rohingya yang kita cintai

READ MORE - Rohingya Kaum Yang Terluka
 

TWITTER SAYA

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.