Lukman terus berjalan. Menelusuri pintu-pintu yang
tertutup rapat. Bukan sebab Lukman mengalami banyak penolakan, tetapi sebab
Lukman sendirilah yang memilih untuk menutup rapat pintu-pintu itu.
Ia tak ingin menyakiti hati banyak orang. Sebab taruhannya
sangat mahal. Akhirat. Apalagi bila Lukman sampai menyakiti hati wanita. Itu
sama saja Lukman menyakiti hati ibunya. Tetapi ini soal pilihan. Soal selera.
Tidak bisa dipaksakan.
Lukman sudah terlanjur tenggelam dalam novel-novel
yang ia baca. Baginya, wanita sempurna didalam cerita-cerita fiksi itu memang
ada dikehidupan nyata. Minimal kecantikannya persis para pelakonnya di layar
lebar.
Lukman tidak mengandai-andai. Wanita seperti itu
memang ada. Buktinya, si Ridwan, teman sekampusnya saat masih kuliah strata
satu, sekarang sudah menikah. Istrinya cantik. Persis model majalah sampul.
Kalau Ridwan saja berhasil mempersunting perempuan
yang kecantikannya setara dengan bintang-bintang layar kaca, apalagi Lukman
yang saat dikampus aktif berorganisasi dan termasuk menjadi bintang kampus,
tentulah Lukman akan mendapatkan pendamping yang keindahan rupanya sesuai
dengan ilusinya. Ya, minimal mirip dengan bintang-bintang layar lebar di
cerita-cerita fiksi.
“Memangnya perempuan seperti apa sih, Man, yang mampu
memenuhi ekspetasimu?” Agung, sahabat Lukman, mendengus kesal.
Pasalnya, ayah beranak satu itu sudah berkali-kali merekomendasikan calon
istri untuk Lukman melalui bantuan sang Istri, tetapi selalu ditolak oleh
Lukman.
“Simple, Gung. Kriteriaku nggak neko-neko, kok. Cukup seperti....” Lukman menunjuk kearah
televisi. Saat itu Lukman sedang menyaksikan tayangan religi yang ditayangkan
ditelevisi.
Begitulah jawaban Lukman tentang kriteria calon
istri idamannya.
Kelakuan Lukman yang bisa dibilang tidak masuk akal
itu sampai membuat Agung jengah. Kapok mencarikan Lukman calon istri. Biar
Lukman cari sendiri saja. Toh ia bukan anak kemarin sore lagi. Paham ilmunya. Mengerti
segala konsekuensi jalan hidup yang dipilihnya.
“Itu tuh kalau cinta yang nggak kesampaian. Jatuh cinta kok sama tokoh dalam cerita fiksi.”
Agung geleng-geleng. “Ambil hikmah ceritanya, aplikasikan dalam kehidupan nyata
kalau ada hal baiknya. Boleh mendamba. Tapi mesti realistis juga, Man.”
“Siapa bilang ini tidak realistis, Gung?”
“Tapi ukuran
kesholehan seseorang bukan dari kesolekannya.” Ucap Agung. “Dahulu orang-orang dalam
memilih pendamping lebih mengutamakan kesholehannya bukan dari kesolekkannya.”
“Tapi kalau kesholehan dan kesolekkan bisa berjalan
beriringan kenapa tidak, Gung?”
Begitulah perdebatan kecil antara dua orang sahabat.
Lukman dan Agung. Tapi hal tersebut tetap tak mampu mengubah jalan pikir
Lukman.
Lukman akan terus berjalan menelusuri lorong-lorong
kehidupannya hingga ia menemukan sebuah pintu yang harus ia ketuk. Walau tak
mudah, namun akhirnya Lukman menemukan pintunya pada seorang gadis berjilbab
biru dihalaman masjid kampus strata duanya, usai dhuhur berjama’ah di mushola
kampus.
Parasnya ayu, putih dan santun dalam balutan
jilbabnya. Siapa nama perempuan itu, ya?
“Kamu tanya namanya?” Tanya Agung begitu usai Lukman
menceritakan pertemuannya dengan sang gadis yang membuat hati Lukman berdegup
kencang. Terperangkap dalam kekaguman.
Lukman menggeleng. Agak menyesal juga kenapa tadi ia
tidak cepat-cepat menanyakan nama perempuan itu sebelum pergi meninggalkan
mushola kampus.
Tapi setidaknya saat ini Lukman sudah menemukan
pintu yang ingin ia ketuk. Perempuan berwajah bening, seperti ilusinya dalam
cerita-cerita fiksi. Dan itu harus diperjuangkan. Harus!
===
Lukman telah memulai perjuangannya. Calon pendamping idaman sudah didepan mata harus
diperjuangkan. Baginya, jodoh memang tidak kemana, tetapi kan tetap harus
dikejar. Harus diperjuangkan.
Ibarat kata orang bijak kalau jodoh tidak akan
kemana, Lukman kembali bertemu dengan perempuan itu. Dihalaman masjid kampus.
Usai sholat dhuhur berjama’ah dimasjid kampus.
“Anna!” Panggil Lukman. Tadi Lukman sempat mendengar
teman perempuan yang bersama dengan gadis berjilbab biru muda itu memanggilnya dengan
sebutan Anna.
Perempuan berjilbab biru yang Lukman panggil dengan
sebutan Anna itu menengok.
“Anna, ya? Mahasiswi strata dua juga, ya?” Tanya
Lukman ramah.
Anna menanggapinya dengan raut wajah heran.
“Saya Lukman. Mahasiswa strata dua ilmu komunikasi
penyiaran. Kelas karyawan sabtu dan minggu.” Lukman memperkenalkan diri lagi.
Anna menatap Lukman penuh keheranan, buru-buru
mengajak temannya untuk bergegas pergi meninggalkan Lukman.
Jelas saja Anna tampak ketakutan dan menghindar.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ada seseorang lelaki yang tidak
dikenalnya sama sekali justru tahu namanya dan mengajak ngobrol ini itu.
“Dia
mahasiswa semester ganjil. Mahasiswi baru. Orangnya pendiam.” Begitu informasi
yang disampaikan oleh Agung. Kedua sahabat itu, Agung dan Lukman memang kuliah
strata dua di kampus dan jurusan yang sama.
Begitu mendengar Lukman sudah menemukan perempuan
sesuai dengan kriterianya setelah pencarian sana sini, sebagai sahabat, Agung
merasa terpanggil untuk membantu ikhtiar Lukman dalam menjemput jodoh sahabatnya
itu. Makanya Agung sampai rela mencari informasi kemanapun mengenai Anna.
Lukman kembali menemui Anna. Berbeda dengan sikap
Anna sebelumnya yang langsung menghindar. Kali ini Anna sedikit memberikan
ruang kesempatan kepada Lukman. Saat itu keduanya duduk di lantai satu masjid
kampus. Saling berhadapan dengan jarak satu meter. Anna sedikit menunduk.
“Anna, maafkan apabila nanti pernyataanku membuatmu
terkejut. Beberapa hari lalu aku sudah memperkenalkan diri padamu. Mungkin kau
akan terkejut, tapi aku bukanlah tipe lelaki yang berbelit-belit.” Lukman
membuka pembicaraan. Memberanikan diri.
Anna masih agak menunduk. Hanya bulu matanya yang
lentik sesekali menyembul.
“Aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali
melihatmu.”
Mata Anna sedikit membesar. Tampak jelas betapa
kagetnya Anna mendengar pernyataan cinta Lukman.
“Kamu sudah ada kekasih atau calon kekasih?” Tanya
Lukman.
Anna menggeleng kemudian perempuan berhidung runcing
itu menunduk kembali.
“Aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepadamu Anna. Aku
ingin menjadikanmu sebagai istriku. Aku berniat melamarmu.”
Anna terperangah kaget. Pernyataan Lukman hari itu
sungguh membuat gadis pemalu seperti Anna kaget luar biasa. Anna menggerakkan
mulutnya dan ingin mengatakan sesuatu, namun hal tersebut dipotong oleh
pernyataan Lukman yang lain.
“Aku tahu kau pasti terkejut sekali. Oleh karena itu
pertanyaanku tak perlu kau jawab sekarang juga. Berpikirlah baik-baik terlebih
dahulu dan istikharah lah. Minggu depan aku tunggu jawaban darimu ya, Ann?”
Ucap Lukman kemudian bersegera pamit meninggalkan gadis yang kecantikkannya
persis artis layar kaca itu dalam kebingungan.
===
Hari semakin berlalu. Waktu pun terus berjalan. Lukman
sudah tidak sabar mendengar jawaban dari Anna.
Akhirnya hari itu tiba juga, bukan mendengar
langsung dari lisan Anna, justru Lukman hanya mendapatkan satu pesan melalui
sms dari Anna yang berbunyi ‘Maaf, saya belum memikirkan pernikahan.’ Hanya
itu. Tak ada penjelasan apapun.
Sms Anna hari itu bagai petir disiang bolong. Lukman
tidak siap dengan jawaban Anna. Sebab, sebelumnya Lukman sangat yakin kalau
Anna pun akan mencintainya dan akan menerima ajakan menikah darinya.
Cita-cita memiliki istri sempurna, baik fisik maupun
akhlaknya seperti didalam cerita-cerita fiksi sepertinya harus Lukman kubur
dalam-dalam
Tapi Lukman tidak bisa tinggal diam begitu saja.
Apalagi setelah jawaban Anna melalui sms tersebut, Anna seperti menghilang dari
muka bumi. Tidak ada kabar sama sekali. Susah ditemui, baik di masjid kampus,
perpustakaan atau tempat-tempat dimana biasanya Lukman melihat Anna dari
kejauhan.
Lukman butuh penjelasan mengapa lamarannya ditolak.
Padahal Anna lah satu-satunya pintu yang ingin Lukman ketuk daripada
pintu-pintu lain. Anna lah satu-satunya wanita yang sesuai dengan segala ilusi
dan delusinya tentang kesempurnaan wanita seperti didalam cerita-cerita fiksi.
Telpon Lukman tidak pernah diangkat. Sms dan email
Lukman pun tidak pernah dibalas oleh Anna. Lukman terus mencari kepastian
jawaban dari Anna. Lukman butuh penjelasan langsung dari Anna. Lukman tidak
ingin harapannya pupus begitu saja.
Anna keluar kelas bersama sahabat perempuannya.
Didepan kelas sudah ada Lukman yang menunggu Anna keluar kelas. Anna sempat
tertegun melihat kehadiran Lukman. Tapi itu sama sekali tak mengubah keputusan
Anna.
“Boleh aku tau penjelasan mengenai penolakan ini?”
Tanya Lukman.
Anna menoleh. Menghela nafas.
Kemudian berjalan lagi.
“Aku
mencintaimu, Anna. Tidak kah itu cukup?” Tanya Lukman lagi. “Aku jatuh cinta
sejak pertama kali melihatmu. Bukankah solusi untuk orang yang jatuh cinta agar
dapat menahan pandangannya adalah dengan menikahinya?
Aku tahu kau pasti kaget dengan pernyataanku. Tetapi
bukankah seharusnya kau memberikan sedikit ruang kesempatan untuk lebih
mengenalku agar dapat meyakinkan mu dalam menerima ajakan menikah dariku?”
Berbagai upaya Lukman lakukan. Namun, gadis itu
tetap tidak bergeming. Masih diam dan berkukuh dengan keputusannya. Membuat
Lukman putus asa dan kehilangan rasa sabar melihat sikap Anna yang pasif dan
keras kepala.
“Kalau kau tidak mau menerima cintaku, silahkan. Biarlah
aku mencari wanita lain. Bukan muslimah dan tidak berhijab pun tidak apa-apa.”
Cecar Lukman setengah mengancam. Dan itu ampuh mengubah sikap pasif Anna.
Anna terhenyak. Matanya semakin membulat. Tampak
jelas kecemasan diwajahnya.
Ditatapnya mata Anna. Lukman mencoba mencari
kejujuran dari bola mata Anna yang indah seperti cleopatra. Anna cepat-cepat menunduk.
“Aku hanya ingin mendengar penjelasan dan
pendapatmu.” Ucap Lukman lagi. Berharap mendengar itu semua, Anna akan berubah
pikiran.
Namun,
Anna tetap berkukuh. Diam seribu bahasa. Pergi meninggalkan Lukman.
===
Cinta
harus diperjuangkan. Apalagi ini termasuk cita-cita Lukman memiliki istri
seperti Anna. Maka Lukman pun terus mencari kepastian kepada Anna. Lukman hanya
butuh penjelasan lebih lanjut. Ia hanya butuh mendengarkan langsung dari lisan
Anna.
Lukman
terus meyakinkan Anna kalau cintanya tulus. Bukan semata-mata sebab kecantikan
wajahnya. Walaupun sejujurnya itu juga yang menjadi faktor Lukman jatuh cinta
kepada Anna.
Beberapa
minggu telah berlalu. Kerja keras dan kesabaran Lukman bisa jadi membuahkan
hasil. Baru saja ia mendapatkan sms balasan dari Anna. Isi sms tersebut
menginformasikan kalau Lukman ditunggu oleh Abah Anna dirumah. Dan tentu saja
itu membuat Lukman bahagia luar biasa.
Segera
ia menemui sahabatnya, Agung. Sebagai perantau, di Jakarta ini Lukman tidak
memiliki kerabat siapapun. Orang tua dan kerabat Lukman sendiri dikampung.
Sangat tidak mungkin Lukman pulang kampung dulu untuk menjemput kedua orang
tuanya. Nanti saja kalau sudah acara lamaran resmi. Toh, hari ini Lukman kan
baru bersilahturahmi. Jadi, Agung lah yang bisa diharapkan untuk menemani
Lukman bertemu dengan Abah Anna.
“Kubilang
apa, Gung. Kesempurnaan itu penting. Kadar sholeh dan solek harus dapat
semuanya.” Lukman begitu bahagia hari itu.
Agung
hanya berdehem.
Tanpa
banyak basa-basi lagi, keduanya menuju rumah Anna. Bertemu dengan Abah Anna.
Diruang
tamu sudah ada Abah dan Anna. Saat itu Anna memakai jilbab warna biru seperti
saat pertama kali Lukman melihat Anna di masjid kampus. Setelah sedikit basa
basi, Lukman menjelaskan maksud kedatangannya. Lukman berniat mempersunting
Anna sebagai Istri.
Abah
pun tampak senang mendengarnya. Sedangkan Anna hanya menunduk.
Melihat
kepandaian Lukman dalam berbicara, serta mendengarkan cerita-cerita segala
macam prestasi Lukman dan pekerjaannya, orang tua manapun pasti akan setuju
mendapatkan menantu seperti itu.
Sebagai
ayah yang bijak, Abah selalu menyerahkan keputusan apapun kepada Anna yang akan
menjalaninya.
“Kalau
Abah pada dasarnya insya Allah setuju saja dengan Nak Lukman. Tapi yang akan
menjalaninya kan Anna. Silahkan tanyakan kepada Anna.” Kata Abah
bijak.“Bagaimana, Na?”
Anna
masih diam. Seperti biasa, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut
Anna. Hanya tangannya yang bergerak-gerak seperti memberikan isyarat.
Senyum
Lukman yang terkembang seketika pias. Ada yang janggal.
Anna
tidak berbicara apapun. Namun tangannya terus bergerak memberi isyarat.
Anna?
Bisu? Sejak kapan?
Tenggorokan
Lukman tercekat. Ternyata ini adalah jawaban atas sikap diam Anna selama ini.
“Tentunya
Nak Lukman sudah tau kan kekurangan Anna?” Abah meyakinkankan.
“Man,
Anna ternyata bukan pendiam, ya?” Bisik Agung. “Maaf. Aku benar-benar tidak
tahu, Man. Kau sendiri sudah tahu?”
Tenggorokan
Lukman tercekat. Ego nya sebagai manusia biasa yang selalu mencari kesempurnaan
bermain disini. Saat ini adalah pembuktian ia termasuk lelaki pecundang atau
lelaki sejati dengan ketepatan kata-katanya.
Lukman
masih mematung. Ada sesal hadir menghampirinya. Bukan sesal karena ia bertemu
dan jatuh cinta kepada Anna. Tetapi karena sikap pengecutnya. Sikap
pecundangnya yang membuat Lukman mesti berlama-lama ragu dan bertarung dengan
ego nya yang berkuasa.
Wajah
Lukman pucat pias. Sepertinya Anna tahu itu. Wajah kecewa Anna, Lukman tidak
akan pernah lupa.
Tiba-tiba
sekeliling gelap dan...
Brukk!!
Samar,
terdengar orang-orang memanggil nama Lukman.
===
Lelaki
sejati bukan ia yang pandai bicara tetapi ia yang mampu menepati segala kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar